Kehidupan Nabi Muhammad SAW dari Lahir hingga Wafatnya

Admin 16.4.13



Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah nabi pembawa risalah Islam, rasul terakhir penutup rangkaian nabi-nabi dan rasul-rasul Allah Subhanahu Wa Ta’ala di muka bumi. Ia adalah salah seorang dari yang tertinggi di antara 5 rasul yang termasuk dalam golongan Ulul Azmi atau mereka yang mempunyai keteguhan hati (QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya dalam Ulul Azmi tsb ialah Ibrahim Alaihissalam, Musa Alaihissalam, Isa Alaihissalam, dan Nuh Alaihissalam.

Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sampai kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Ismail Alaihissalam.

Tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dikenal dengan nama Tahun Gajah, karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah. Pasukan itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur Kerajaan Habsyi di Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak).

Dalam penyerangan Ka’bah itu, tentara Abrahah hancur karena terserang penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang melempari tentara gajah. Abrahah sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Fîl: 1-5.

Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, Abdullah, telah meninggal dunia.

Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muttalib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka berkata kepada Abdul Muttalib, “Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul Muttalib menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain. Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”

Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du’aib as-Sa’diyah

Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa’ad terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik udaranya.

Diantara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita bernama Halimah binti Abu Du’aib as Sa’diyah. Keluarga Halimah tergolong miskin, karenanya ia sempat ragu untuk mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah sendiri juga tidak terlalu kaya. Akan tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat menawan hatinya, sehingga akhirnya Halimah pun mengambil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai anak asuhnya.

Ternyata kehadiran Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sangat membawa berkah pada keluarga Halimah. Dikisahkan bahwa kambing peliharaan Haris, suami Halimah, menjadi gemuk-gemuk dan menghasilkan susu lebih banyak dari biasanya. Rumput tempat menggembala kambing itu juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga Halimah yang semula suram berubah menjadi bahagia dan penuh kedamaian. Mereka yakin sekali bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah bagi kehidupan mereka.

Tanda-tanda kenabian

Sejak kecil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa.

Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.

Namun tak lama setelah itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kembali diasuh oleh Halimah karena terjadi wabah penyakit di kota Mekah. Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah maupun anak-anaknya sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang memberi salam kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, “Assalamu ‘Alaika ya Muhammad,” padahal mereka tidak melihat ada orang di situ.

Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar dan berpakaian putih menangkap Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Halimah bergegas menyusul Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Saat ditanyai, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Ada 2 malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku merasa sakit.”

Halimah sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban pada diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, namun karena kondisi ekonomi keluarganya yang semakin melemah, ia terpaksa mengembalikan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, yang saat itu berusia 4 tahun, kepada ibu kandungnya di Mekah.

Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah menjadi yatim-piatu. Aminah meninggal karena sakit sepulangnya ia mengajak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berziarah ke makam ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul Muttalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Namun kemudian Abdul Muttalib pun meninggal, dan tanggung jawab pemeliharaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam beralih pada pamannya, Abi Thalib.

Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan permintaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk ikut serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12 tahun sebenarnya masih terlalu muda untuk ikut dalam perjalanan seperti itu, namun dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda-tanda kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.

Segumpal awan terus menaungi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sehingga panas terik yang membakar kulit tidak dirasakan olehnya. Awan itu seolah mengikuti gerak kafilah rombongan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut berhenti. Kejadian ini menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar melihat dalam kafilah itu terdapat seorang anak yang terang benderang sedang mengendarai unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya. “Inilah Roh Kebenaran yang dijanjikan itu,” pikirnya.

Pendeta itu pun berjalan menyongsong iring-iringan kafilah itu dan mengundang mereka dalam suatu perjamuan makan. Setelah berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang bernama Muhammad adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Keyakinan ini dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa di belakang bahu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terdapat sebuah tanda kenabian.

Saat akan berpisah dengan para tamunya, pendeta Buhairah berpesan pada Abi Thalib, “Saya berharap Tuan berhati-hati menjaganya. Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh umat manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa yang saya terangkan itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab Taurat dan Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan.”

Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu membuat Abi Thalib segera mempercepat urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.

Gelar al-Amin

Pada usia 20 tahun, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.

Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah. Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki pintu Shafa ini.”

Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam muncul dari sana. Semua hadirin berseru, “Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”

Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam lalu membentangkan sorbannya di atas tanah, dan meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku memegang tepi sorban itu dan mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian yang diharapkan, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian selesailah perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas dengan cara penyelesaian yang sangat bijak itu.

Pernikahan dengan Khadijah

Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Khadijah telah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Suriah melebihi perkiraannya.

Akhirnya Khadijah mengutus Maisaroh dan teman karibnya, Nufasah untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Khadijah yang berusia 40 tahun, melamar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk menjadi suaminya.

Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran itu akhirnya diterima dan dalam waktu dekat segera diadakan upacara pernikahan dengan sederhana. yang hadir dalam acara itu antara lain Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.

Pernikahan bahagia itu dikaruniai 6 orang anak, terdiri dari 2 anak lelaki bernama Al-Qasim dan Abdullah, dan 4 anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Kedua anak lelakinya meninggal selagi masih kecil. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak menikah lagi sampai Khadijah meninggal, saat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 50 tahun.

Dalam kehidupan rumah-tangganya dengan Khadijah, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak pernah menyakiti hati istrinya. Sebaliknya istrinya pun ikhlas menyerahkan segalanya pada suaminya. Kekayaan istrinya digunakan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas. Budak-budak yang telah dimiliki Khadijah sebelum pernikahan mereka, semuanya ia bebaskan, salah satunya adalah Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak angkatnya.

Wahyu pertama

Menjelang usianya yang ke-40, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sering berkhalwat (menyendiri) ke Gua Hira, sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur dan beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 611, ia melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, “Iqra’ (bacalah).” Lalu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Mâ anâ bi qâri’ (saya tidak dapat membaca).” Mendengar jawaban Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Jibril lalu memeluk tubuh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan kembali menyuruh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3 kali dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tetap memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala pertama, yang artinya:

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Menciptakan. Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang Paling Pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. 96: 1-5)

Saat itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5 ayat pertama ini, berarti Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah dipilih oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai rasul.

Setelah pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb, dengan rasa ketakutan dan cemas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pulang ke rumah dan berseru pada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku.” Sekujur tubuhnya terasa panas dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang, barulah ia bercerita kepada istrinya. Untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam datang pada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang banyak mengetahui kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Waraqah pun berkata, “Aku telah bersumpah dengan nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu menjadi nabi kaum ini. An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadamu. Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu, mereka akan memusuhimu, dan mereka akan melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat hidup pada hari itu, aku akan berjuang membelamu.”

Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Wahyu berikutnya adalah surat Al-Muddatsir: 1-7, yang artinya:

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah. (QS. 74: 1-7)

Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan rekan-rekannya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sejak ibunya masih hidup.

Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang telah masuk Islam.

Setelah beberapa lama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan dakwah secara diam-diam, turunlah perintah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Pada kesempatan itu ia menyampaikan ajarannya. Namun ternyata hanya sedikit yang menerimanya. Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak dengan kasar, salah satunya adalah Abu Lahab.

Langkah dakwah seterusnya diambil Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dalam pertemuan yang lebih besar. Ia pergi ke Bukit Shafa, sambil berdiri di sana ia berteriak memanggil orang banyak. Karena Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah orang yang terpercaya, penduduk yakin bahwa pastilah terjadi sesuatu yang sangat penting, sehingga mereka pun berkumpul di sekitar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.

Untuk menarik perhatian, mula-mula Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berkata, “Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang siap menyerang kalian, percayakah kalian?”

Dengan serentak mereka menjawab, “Percaya, kami tahu saudara belum pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya. Saudara yang mendapat gelar al-Amin.”

Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam meneruskan, “Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya.”

Tapi khotbah ini ternyata membuat orang-orang yang berkumpul itu marah, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengejeknya gila. Pada saat itu, Abu Lahab berteriak, “Celakalah engkau hai Muhammad. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”

Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur’an yang artinya:

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS. 111: 1-5)

Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam

Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.

Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi lama disamping juga khawatir jika struktur masyarakat dan kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menekankan pada keadilan sosial dan persamaan derajat. Mereka menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua: memerintahkan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam agar berhenti berdakwah, atau menyerahkannya kepada mereka. Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia meminta agar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menolak permintaannya dan berkata, “Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya.”

Mendengar jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.

Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah menemui Abi Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mugirah berkata, “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah kita”.

Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima.”

Kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam secara langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka menawarkan takhta, wanita, dan harta yang mereka kira diinginkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, asal Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersedia menghentikan dakwahannya. Namun semua tawaran itu ditolak oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan mengatakan, “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini, hingga agama ini memang atau aku binasa karenanya.”

Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah masuk Islam mereka siksa dengan sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum. Salah seorang budak bernama Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.

Setiap suku diminta menghukum anggota keluarganya yang masuk Islam sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri. Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka’bah, dan lain sebagainya.

Kekejaman terhadap kaum Muslimin mendorong Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia sekarang) sebagai negeri tempat pengungsian, karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merasa pasti rombongannya akan diterima dengan tangan terbuka.

Rombongan pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita. di antara rombongan tsb adalah Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayah (putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam), Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan jumlah rombongan ini lebih dari 80 orang.

Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja negeri tsb agar menolak kehadiran umat Islam disana. Namun berbagai usaha itu pun gagal. Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah jumlah yang memeluk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman tsb, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuk Islamnya dua orang yang dijuluki “Singa Arab” itu, semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pada waktu itu.

Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka pun berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan segala macam hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah.

Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan berlangsung selama 3 tahun itu merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu berhenti karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian Bani Hasyim akhirnya dapat kembali pulang ke rumah masing-masing.

Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi Thalib, paman Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan Tahun Kesedihan (‘Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Telebih sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Hingga kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta’if. Namun reaksi yang diterima Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari Bani Saqif (penduduk Ta’if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka di bagian kepala dan badannya.

Peristiwa Isra Mi’raj

Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengalami peristiwa Isra Mi’raj.

Isra, yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem.
Mi’raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam kesempatannnya berhadapan langsung dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala inilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menerima perintah untuk mendirikan sholat 5 waktu sehari semalam.

Peristiwa Isra Mi’raj ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Isrâ’ ayat 1.

Hijrah

Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Mekah yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.

Suatu ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu dengan 6 orang dari suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka berkata, “Bangsa kami sudah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya kini Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini.”

Pada musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang terdiri dari 12 orang suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam di suatu tempat bernama Aqabah. Di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di Aqabah, maka dinamakan Bai’at Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam atas permintaan mereka.

Pada musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib berjumlah 75 orang, termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam di Aqabah. Mereka meminta agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari segala ancaman. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menyetujui usul yang mereka ajukan.

Mengetahui adanya perjanjian antara Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan orang-orang Yatsrib, kaum Quraisy menjadi semakin kejam terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Secara diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan muslimin, sedikit demi sedikit, ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, membelanya sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.

Kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebelum ia sempat menyusul umatnya ke Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya yang terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, sehingga ia merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar diminta mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam masih tidur.

Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman. Pada malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.

Setelah 7 hari perjalanan, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai pusat peribadatan.

Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan rombongan. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang isinya:

Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit).

Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi,

Wahai orang yang diutus kepada kami,

engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.

Setiap orang ingin agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam singgah dan menginap di rumahnya. Tetapi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berkata, “Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya.”

Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari. Dengan demikian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.

Sejak itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.

Terbentuknya Negara Madinah

Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.

Dasar pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin). Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mempersaudarakan individu-individu dari golongan Muhajirin dengan individu-individu dari golongan Anshar. Misalnya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan.

Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.

Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan keluarganya.

Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi kepala pemerintahan di Madinah.

Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.

Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa’ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.

Ekspedisi-ekspedisi tsb sengaja digerakkan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.

Perang Badr

Perang Badr yang merupakan perang antara kaum muslimin Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam gagal.

Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang dengan perlengkapan senjata sederhana yang terdiri dari pedang, tombak, dan panah. Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan semangat pasukan yang membaja, kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Abu Jahal, panglima perang pihak pasukan Quraisy dan musuh utama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sejak awal, tewas dalam perang itu. Sebanyak 70 tewas dari pihak Quraisy, dan 70 orang lainnya menjadi tawanan. Di pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebagai syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS. 3: 123).

Orang-orang Yahudi Madinah tidak senang dengan kemenangan kaum muslimin. Mereka memang tidak pernah sepenuh hati menerima perjanjian yang dibuat antara mereka dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dalam Piagam Madinah.

Sementara itu, dalam menangani persoalan tawanan perang, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memutuskan untuk membebaskan para tawanan dengan tebusan sesuai kemampuan masing-masing. Tawanan yang pandai membaca dan menulis dibebaskan bila bersedia mengajari orang-orang Islam yang masih buta aksara. Namun tawanan yang tidak memiliki kekayaan dan kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.

Tidak lama setelah perang Badr, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian dengan suku Badui yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam karenan melihat kekuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Tetapi ternyata suku-suku itu hanya memuja kekuatan semata.

Sesudah perang Badr, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam juga menyerang Bani Qainuqa, suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam lalu mengusir kaum Yahudi itu ke Suriah.

Perang Uhud

Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada tahun 3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi.

Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berjumlah 700 orang.

Perang pun berkobar. Prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur pasukan musuh yang jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur dan kocar-kacir meninggalkan harta mereka.

Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.

Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri terkena serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah meninggal. Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.

Perang Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur sebagai syuhada.

Perang Khandaq

Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.

Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tsb mengepung Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya. Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita karena hubungan mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu diperparah pula oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah pimpinan Ka’ab bin Asad.

Namun akhirnya pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan kaum muslimin. Setelah sebulan mengadakan pengepungan, persediaan makanan pihak sekutu berkurang. Sementara itu pada malam hari angin dan badai turun dengan amat kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Sehingga mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing tanpa suatu hasil.

Para pengkhianat Yahudi dari Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati.

Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzâb: 25-26.

Perjanjian Hudaibiyah

Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.

Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer dari Mekah.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.

Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah, yang isinya antara lain:

Kedua belah pihak setuju untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun.

Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.

Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam maupun dengan pihak Quraisy.

Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tsb, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya.

Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih dulu.

Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diizinkan membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3 malam.

Tujuan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat perjanjian tsb sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:

Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga dengan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat tersebar ke luar.

Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.

Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.

Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain

Gencatan senjata dengan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam untuk mengalihkan perhatian ke berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian adalah dengan mengirim utusan dan surat ke berbagai kepala negara dan pemerintahan.

Diantara raja-raja yang dikirimi surat oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah raja Gassan dari Iran, raja Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang dengan cara itu tidak ada raja-raja yang masuk Islam, namun setidaknya risalah Islam sudah sampai kepada mereka. Reaksi para raja itu pun ada yang menolak dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada pula yang menolak dengan kasar.

Raja Gassan termasuk yang menolak dengan kasar. Utusan yang dikirim Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dibunuhnya dengan kejam. Sebagai jawaban, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian mengirim pasukan perang sebanyak 3.000 orang dibawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara Semenanjung Arab.

Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Gassan yang mendapat bantuan langsung dari Romawi. Beberapa syuhada gugur dalam pertempuran melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang itu. di antara mereka yang gugur adalah Zaid bin Haritsah sendiri, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah.

Melihat kekuatan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke Madinah.

Perang melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi ini disebut dengan Perang Mu’tah.

Kembali ke Mekah

Selama 2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau Semenanjung Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, telah menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang Bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza’ah mereka bunuh dan sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu pada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan meminta keadilan.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam segera bertolak dengan 10.000 orang tentara untuk melawan kaum musyrik Mekah itu. Kecuali perlawanan kecil dari kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tidak mengalami kesukaran memasuki kota Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasuki kota itu sebagai pemenang. Pasukan Islam memasuki kota Mekah tanpa kekerasan. Mereka kemudian menghancurkan patung-patung berhala di seluruh negeri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“…Kebenaran sudah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”(QS. 17: 81)

Setelah melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berkhotbah menjanjikan ampunan bagi orang-orang Quraisy. Setelah khotbah tsb, berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam. Ka’bah bersih dari berhala dan tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan musyrik.

Sejak itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.

Setelah Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat suku-suku Arab yang menentang, yaitu Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani Jusyam. Suku-suku ini berkomplot membentuk satu pasukan untuk memerangi Islam karena ingin menuntut bela atas berhala-berhala mereka yang diruntuhkan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan umat Islam di Ka’bah. Pasukan mereka dipimpin oleh Malik bin Auf (dari Bani Nasr).

Dalam perjalanan mereka ke Mekah, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat strategis.

Kurang lebih 2 minggu kemudian, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memimpin sekitar 12.000 tentara menuju Hunain. Saat melihat banyak pasukan Islam yang gugur, sebagian pasukan yang masih hidup menjadi goyah dan kacau balau, sehingga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian memberi semangat dan memimpin langsung peperangan tsb. Akhirnya umat Islam berhasil menang. Pasukan musuh yang melarikan diri ke Ta’if terus diburu selama beberap minggu sampai akhirnya mereka menyerah. Pemimpin mereka, Malik bin Auf, menyatakan diri masuk Islam.

Dengan ditaklukannya Bani Saqif dan Bani Hawazin, kini seluruh Semenanjung Arab berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Melihat kenyataan itu, Heraclius, pemimpin Romawi, menyusun pasukan besar di Suriah, kawasan utara Semenanjung Arab yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani Lachmides.

Dalam masa panen dan pada musim yang sangat panas, banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Pasukan Romawi kemudian menarik diri setelah melihat betapa besarnya pasukan yang dipimpin Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri tidak melakukan pengejaran, melainkan ia berkemah di Tabuk. Disini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat beberapa perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam.

Perang yang terjadi di Tabuk ini merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.

Pada tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh pelosok Arab yang mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk menyatakan tunduk kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan Tahun Perutusan atau ‘Âm al-Bi’sah. Mereka yang datang ke Mekah, rombongan demi rombongan, mempelajari ajaran-ajaran Islam dan setelah itu kembali ke negeri masing-masing untuk mengajarkan kepada kaumnya. Dengan cara ini, persatuan Arab terbentuk. Peperangan antar suku yang berlangsung selama ini berubah menjadi persaudaraan agama. Pada saat itu turunlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. 110: 1-3)

Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sudah tercapai.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.

Pada awalnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendapati mereka bergelimang dalam ketakhyulan yang merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kasih Sayang.

Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.

Kalau sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam kegelapan rohani, maka ia datang membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari rohani mereka.

Pekerjaannya selesai sudah, dan seluruhnya dikerjakan dengan baik semasa hidupnya.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dibanding dengan nabi-nabi yang lain.

Ibadah haji terakhir

Pada tahun 10 H, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengerjakan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga dengan haji wada’.

Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji bersamanya.

Pada waktu wukuf di Arafah, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbah itu antara lain:

larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq (benar) dan mengambil harta orang lain dengan bathil (salah), karena nyawa dan harta benda adalah suci.

larangan riba dan larangan menganiaya

perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut

perintah menjauhi dosa

semua pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus dimaafkan

pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan

persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan

hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu mereka memakan apa yang dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya

dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh pada dua sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.

Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bertanya kepada seluruh jemaah, “Sudahkan aku menyampaikan amanat Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?”

Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, “Ya, memang demikian adanya.”

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku.”

Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengakhiri khotbahnya.

Kembali ke Madinah

Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kembali ke Madinah. Disinilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari persekutuan Islam. Petugas keamanan dan para da’i dikirimnya ke berbagai daerah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan Islam, dan memungut zakat. Salah seorang di antara petugas itu adalah Mu’az bin Jabal yang dikirim oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ke Yaman. Ketika itulah hadist Mu’az yang terkenal muncul, yaitu perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam agar Mu’az menggunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama apabila ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.

Pada saat-saat itu pula wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang terakhir turun:

“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu …” (QS. 5: 3)

Mendengar ayat ini, banyak orang yang bergembira karena telah sempurna agama mereka, tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.

Wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam

Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada’ di Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sakit demam. Meskipun badannya mulai lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak mengimami shalat berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat. Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.

Pada tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar, dengan wasiat terakhir, “Ingatlah shalat, dan taubatlah…”.

Ummul Mukminin

Setelah Khadijah meninggal, Nabi Muhammad menikah lagi sebanyak 10 kali, sehingga jumlah wanita yang menjadi istrinya ada 11 orang. Kesebelas wanita ini disebut sebagai Ummul Mukminin (ibu dari orang-orang yang beriman). Sebutan tsb menunjukkan bahwa para istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah wanita-wanita yang terpilih dan dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menikahi para wanita itu karena beberapa alasan, antara lain untuk melindungi mereka dari tekanan kaum musyrikin, membebaskannya dari status tawanan perang, dan mengangkat derajatnya. Tidak jarang pernikahan yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menciptakan hubungan perdamaian antara dua suku yang sebelumnya saling bermusuhan.

Para Ummul Mukminin itu adalah:

Khadijah binti Khuwailid

Sa’udah binti Zam’ah

Aisyah binti Abu Bakar as-Sidiq

Zainab binti Huzaimah bin Abdullah bin Umar

Juwairiyah binti Haris

Sofiyah binti Hay bin Akhtab

Hindun binti Abi Umaiyah bin Mugirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum

Ramlah binti Abu Sufyan

Hafsah binti Umar bin Khattab

Zainab binti Jahsy bin Ri’ah bin Ja’mur bin Sabrah bin Murrah

Maimunah binti Haris

Beberapa dari istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ini juga menjadi periwayat hadist, yaitu Aisyah, Hafsah, dan Zainab binti Jahsy.


Related Post:

Blogger Template by BlogTusts Sticky Widget by Kang Is Published by GBT.

No comments:

Post a Comment