Allah SWT Tidak Pernah Menyesatkan Hamba-Nya

Admin 21.4.14



Allah swt. berfirman, “Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.”[Fathir: 8]. Banyak orang berkesimpulan bahwa Allah swt. menyesatkan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Hal ini sudah lumrah kita dengar. Namun kata “Allah swt. menyesatkan” atau “disesatkan Allah swt.” memberikan kesan buruk dan dhalim. Seakan orang yang sudah berada di jalan menuju surga, lalu Allah swt. ajak dan belokkan dia ke jalan menuju neraka. Benarkah hal tersebut?

Dalam hal kesesatan seorang manusia, Allah Maha Adil, tidak pernah dhalim. Sedangkan dalam hal mendapatkan hidayah, Allah Maha Baik, bukan sekadar adil. Hal itu karena semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu beriman kepada Allah swt. Namun begitu dilahirkan, dia dikelilingi faktor-faktor yang bisa merubah keimanannya. Keluarga, sekolah, media massa, pergaulan, dan sebagainya. Tanpa perlindungan dari Allah swt., manusia sangat lemah berhadapan dengan itu semua.

Sehingga bisa dikatakan, seluruh manusia tanpa kecuali, sebenarnya sedang berjalan menuju ke neraka. Tapi Allah swt. berkehendak menyelamatkan orang-orang tertentu. Allah swt. memberikan taufiq dan hidayah-Nya; memasukkan keimanan dalam hati orang-orang tersebut. Inilah kebaikan Allah swt. Sedangkan selain mereka, Allah swt. biarkan berada dalam kesesatan karena memang mereka berhak untuk mendapatkannya. Inilah keadilan Allah swt.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah swt. berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah sesat kecuali yang Aku beri hidayah. Maka mohonlah hidayah kepada-Ku, niscaya kalian Kuberi.” [HR. Muslim].

Mensyukuri Hidayah

Orang yang mendapatkan hidayah hendaknya banyak bersyukur. Tanpa kehendak Allah swt., mereka tidak akan pernah bisa meniti jalan menuju surga. Apapun usaha yang telah dan sedang mereka lakukan; sebesar apapun mukjizat yang telah mereka saksikan. Allah swt. berfirman, “Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-An’am: 111].

Oleh karena itu, banyak kita dapati fenomena orang telah hapal Al-Qur’an, menguasai bahasa Arab, dan mengkaji ilmu-ilmu Islam, tapi tidak beriman kepada Allah swt. Fenomena isteri atau anak seorang nabi menentang Allah swt. Ini semua membuktikan bahwa hidayah keimanan ada di tangan Allah swt.

Orang yang telah mendapat hidayah dan tergerak hatinya untuk meniti jalan menuju surga sangatlah beruntung. Karena semua manusia berada dalam kesesatan. Jiwa, syahwat, dan nafsunya lebih cenderung kepada keburukan. Gemerlap dunia membuatnya silau sehingga dia tertipu. Setan tidak henti-hentinya menggoda dan membisikkan keburukan. Manusia benar-benar dikepung oleh dengan faktor kesesatan. Ketika Allah swt. membimbingnya menuju keimanan, maka dia adalah manusia pilihan Allah swt. Hendaknya dia mensyukuri dan melestarikan hidayah tersebut dengan selalu menaati tuntunan Allah swt.

Dibiarkan dalam Kesesatan, Bukan Disesatkan

Allah Maha Adil, dan tidak pernah berbuat dhalim. Karena perbuatan dhalim seperti mencuri, menipu, dan merampas, terjadi perasaan butuh. Sedangkan Allah swt. tidak butuh apapun. Segala sesuatu yang ada di alam raya, termasuk manusia, adalah milik Allah swt. Dia Maha Kaya; tidak memerlukan selain-Nya. Sebaliknya, yang lain membutuhkan-Nya.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt. berfirman, “Jika seluruh manusia dan jin, dari yang pertama diciptakan hingga yang terakhir, masing-masing memohon kepada-Ku, lalu Aku berikan semua apa yang mereka minta, hal itu tidak akan mengurangi apa yang Kumiliki, hanya seperti air yang menempel di jarum ketika dimasukkan ke dalam lautan.” [HR. Muslim].

Allah Maha Adil ketika membiarkan sebagian manusia dalam kesesatannya. Misalnya karena mereka memang menyenangi kesesatan, tidak memohon hidayah, meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya, dan sebagainya. Sejarah banyak mencontohkan orang-orang seperti ini. Fir’aun adalah penguasa dunia yang sudah mengetahui kebenaran dakwah Musa as. Bahkan dia sempat mengucapkan keimanannya saat dirundung musibah. Namun setelah selesai, dia kembali kafir.

“Dan mereka (Fir’aun dan pengikutnya) berkata, “Hai ahli sihir (Musa as.), berdoalah kepada Tuhanmu untuk (melepaskan) kami sesuai dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu; sesungguhnya kami (jika doamu dikabulkan) benar-benar akan menjadi orang yang mendapat petunjuk. Maka tatkala Kami hilangkan siksaan itu dari mereka, dengan serta-merta mereka memungkiri (janjinya).” [Az-Zukhruf: 49-50].

Setelah berdialog dengan Abu Sufyan, Heraklius menyimpulkan dan meyakini bahwa Muhammad saw. adalah utusan Allah swt. Namun segera dia menyebutkan alasan untuk menolak kebenaran tersebut, “Seandainya aku bukan penguasa, aku pasti akan segera mendatangi Muhammad, dan aku basuh kakinya.”

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) memberi mereka hidayah kepada jalan yang lurus.” [An-Nisa’: 137].

Related Post:

Blogger Template by BlogTusts Sticky Widget by Kang Is Published by GBT.

No comments:

Post a Comment