7.4.14

Memahami Sakralitas Akad Nikah



Pengantar: Bapak dan Ibu sekalian. Insya Allah besok pagi, Jumat 4 April 2014 kami akan menikahkan putri tunggal kami, Rachma Rizqina Mardhitillah, dengan pria pilihannya, Berto Wibawa. Mohon doa restu dari Bapak dan Ibu sekalian. Sebagai kado pernikahan, saya menyempatkan menulis artikel ini. Semiga artikel ini juga dapat bermanfaat bagi Bapak dan Ibu sekalian. Terima kasih.
Di surga Adam (baca: Nabi Adam ‘Alaihi-assalam) tinggal sendirian dan merasa kesepian. Suatu saat, Adam tertidur. Ketika bangun, ia menemukan seorang perempuan tengah duduk di sisi kepalanya. Perempuan itu diciptakan Allah dari tulang rusuknya. Adam lalu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau?”
Perempuan itu menjawab, “Aku seorang perempuan.”
“Untuk apa kau diciptakan Allah?” tanya Adam kembali.
”Untuk menjadi sumber ketenteramanmu,” jawab perempuan itu (Târikh al-Thabarî, 1/103).
“Kemarilah!” seru Adam.
“Tidak, seharusnya kau yang datang kemari,” tukas Hawa.
Adam pun berdiri menghampiri Hawa. Sejak itu, seorang lelaki memiliki kebiasaan mendatangi perempuan. Setelah mendekat dan Adam ingin menyentuh Hawa, terdengarlah seruan, “Hai Adam, tahan dulu! Sesungguhnya hubunganmu dengan Hawa itu belum halal kecuali dengan membayar mas kawin dan menikah yang sah.”
Kemudian Allah memerintahkan penghuni surga untuk menghias dan merias Hawa. Beraneka hidangan juga disiapkan. Para malaikat diperintahkan berkumpul di bawah pohon Thuba. Mereka tak henti-henti memuji Allah. Lalu Allah menikahkan Hawa dengan Adam, Allah berfirman: “Segala puji untuk-Ku. Keagungan adalah busanaku-Ku. Kesombongan adalah selendang-Ku. Dan seluruh makhluk adalah hamba-Ku. Aku persaksikan kepada malaikat-Ku dan penduduk langit-Ku bahwa Aku telah menikahkan Hawa dengan Adam ciptaanku yang baru.”
Tak lama berselang, tutur Ibnu Jauzi dalam kitab Salwatul Ahzan, Adam mendekati Hawa, tapi Hawa mengingatkan kepadanya agar menyerahkan maskawin dulu. Adam bertanya kepada Tuhan,“Wahai Tuhanku, apa maskawin yang pantas kuberikan kepadanya?” Allah menjawab, “Bershalawatlah kepada kekasih-Ku Muhammad 20 kali.” Lalu Nabi Adam melakukannya (Irsyâdul ‘Ibâd: 61).
Inilah kisah cinta dan pernikahan pertama dalam sejarah umat manusia. Sejak itu Hawa hidup di surga sebagai pendamping Adam. Mereka hidup bahagia; menikmati fasilitas terbaik, menyantap makanan terlezat, minum air tersegar, menghirup aroma paling semerbak, mengenakan busana termewah dan terindah. Tak ada dingin, tak ada terik. Mereka berpindah leluasa di antara rimbun pepohonan surgawi. Buah-buah merunduk, tinggal petik mana yang disukai. Tak ada letih, tak ada capek. Segala urusan dimudahkan bagi mereka. Hidup mereka adalah ketenangan sempurna dan kenikmatan senantiasa. Sungguh di dalamnya kamu tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang. Kamu pun di dalamnya tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari (Thâhâ: 118–119).
Namun, Allah berpesan: “Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak dan baik di mana pun kamu suka, dan jangan kamu dekati pohon ini yang menyebabkanmu termasuk orang zalim” (al-Baqarah: 35).
Iblis pun beraksi. Langkah pertama tipu daya Iblis terhadap Adam dan Hawa adalah berpura-pura menangis dan berduka. Adam dan Hawa turut bersedih mendengar tangisannya. Mereka bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Iblis menjawab, ”Aku menangisi kalian berdua, kalian akan mati dan meninggalkan nikmat dan keagungan yang ada.”
Mendengar ucapan Iblis ini, Adam dan Hawa bersimpati kepadanya. Lantas Iblis mulai merasuki keduanya, dan berkata, “Wahai Adam, maukah kau kutunjukkan satu pohon khuldi (keabadian) dan kerajaan yang tak pernah musnah?” Iblis melanjutkan, “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dalam makna lain, kalian berdua akan menjadi raja yang menguasai kenikmatan surga dan kalian akan abadi. Dan Iblis bersumpah kepada keduanya, ”Sungguh aku termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua” (al-A’râf [7]: 20-21).
Singkat cerita, Nabi Adam dan Hawa mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Setelah mendengar dari Allah bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, dan, karena itu, akan dihukum, mereka lalu memohon kepada Allah agar dibebaskan dari kesalahan itu dan dimaafkan: ”Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan mengasihi kami, pastilah kami benar-benar termasuk orang-orang yang merugi.” (al-A’râf [7]: 23).
Nabi Adam lalu berkata, “Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakanku dengan tangan-Mu?”
“Ya,” Allah menjawab.
“Bukankah Engkau telah menempatkanku di surga?”
“Ya.”
“Bukankah rahmat-Mu lebih besar daripada murka-Mu?”
“Ya.”
“Apakah jika aku bertobat dan memperbaiki diriku, Engkau sudi untuk mengembalikanku ke surga?” tanya Adam penuh harap.
Allah menjawab, “Ya.”
Inilah—menurut Imam al-Thabari—beberapa jawaban dan kalimat yang disampaikan Allah kepada Adam, seperti dalam firman-Nya, Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima tobatnya (al-Baqarah [2]: 37). Tobat mereka diterima tapi mereka mesti turun ke bumi.

Ternyata mereka diturunkan di tempat terpisah. Menurut riwayat Hisyam ibn Muhammad, Adam diturunkan di India, sementara Hawa di Juddah, dekat Makkah. Adam terus mencari-cari Hawa hingga keduanya mendekat di Muzdalifah (tempat untuk saling mendekat). Akhirnya keduanya bertemu dan mengenali kembali satu sama lain di atas bukit yang kelak dinamakan ‘Arafah (mengenal dan mengetahui). Tempat ini kemudian disebut juga sebagai Jabal Rahmah—Bukit Kasih Sayang.
Banyak sekali pelajaran yang layak kita unduh dari kisah cinta Ayah Bunda kita semua umat manusia itu, tapi pesan intinya adalah perlunya nilai-nilai rahmah atau kasih sayang dalam kehidupan kita. Sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada manusia Allah ciptakan untuknya pasangan (kekasih) dan sebagai bentuk rasa syukur kita adalah merawat hubungan itu dengan kasih sayang pula.

وَمِنْ آياتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْواجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْها وَ جَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَ رَحْمَةً إِنَّ فِي ذلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau berpikir (ar-Rûm: 21).
Ayat yang diulang-ulang dalam setiap upacara pernikahan—bahkan dicantumkan di kartu undangan—ini ternyata ditempatkan Allah pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta—tentang tegaknya langit, terhamparnya bumi, tercurahnya air hujan, gemuruhnya halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat ini, Allah ingin mengajarkan kepada kita betapa Dia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan hidup kita.
Allah ciptakan bumi dengan segala isinya—samudra luas, bukit tinggi, hutan belantara—semua untuk kebahagiaan kita sebagai manusia. Diedarkan Allah mentari, rembulan, dan gemintang; diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan pepohonan, dan disirami tetanaman—semua untuk kebahagiaan kita sebagai manusia.
Namun, Allah Yang Mahatahu memberikan lebih dari itu. Dia tahu getar kerinduan di dada kita. Dia tahu betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar bukan saja kata-kata yang terucapkan, melainkan juga isak hati yang tak terungkapkan; yang mau menerima segala perasaan—tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu, Allah ciptakan seorang kekasih.
Allah tahu, saat kita diempas masalah, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, dan memperkuat hati—tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu, Allah ciptakan seorang kekasih.
Allah tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang berdiri di samping kita—tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu, Allah ciptakan seorang kekasih (Rakhmat, 1999).
Supaya hubungan antar kekasih ini menyuburkan ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah), dan diliputi kasih sayang (rahmah), Allah menetapkan suatu ikatan suci, yaitu akad nikah. Sungguh sangat menarik, Allah menempatkan urusan (pernikahan) berdimensi psycho-personal namun berdampak sosial digabung dengan fenomena alam dan ‘menantang’ kita untuk berpikir, apa rahasia dibalik itu semua?

Di Balik Akad Nikah

Apa sejatinya makna di balik setiap prosesi pernikahan itu? Kalau kita renung-renungkan lagi, dari balik kata-kata yang disebut-sebut dalam akad nikah saja kita bisa memungut mutiara makna yang menopang terwujudnya keluarga penuh rahmah itu.
Pertama, kata nikah dan zawaj. Artinya mengawinkan. Kalau makna dasar nikah adalah penyatuan, makna zawaj adalah keberpasangan. Dengan nikah, dua orang berjanji untuk menyatukan jiwa, cita-cita, harapan mereka dalam sebuah ikatan suci. Tapi, dengan zawaj, penyatuan itu bukanlah melebur, melainkan berpasangan. Masing-masing punya keunikan dan tetap punya identitas tersendiri. Namun, mereka berjalan seiring untuk tumbuh bersama dengan saling mengisi dan saling mendukung dalam bahtera rumah tangga.
Ini selaras dengan firman-Nya: Mereka (istri-istrimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka (al Baqarah: 187). Layaknya pakaian, suami dan istri harus bisa menjalankan fungsinya masing-masing sebagai (a) penutup aurat [aib atau sesuatu yang memalukan] dari pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya cuaca kehidupan, dan (c) kebanggaan dan keindahan bagi pasangannya.

Kedua, ijab dan qabul. Lumrahnya, ijab-qabul kita artikan serah-terima (bahasa Jawa: seserahan). Kita mendengar dua kalimat itu diucapkan wali dan pengantin pria. Namun, dalam bahasa aslinya makna ijab-qabul lebih dari sekadar ikrar penyerahan dan penerimaan. Makna ijâb antara lain bermakna memperhatikan dan memelihara. Dengan ijab, kita berjanji akan saling memperhatikan, memelihara, mengayomi, dan memberikan haknya satu sama lain.
Bagi kedua mempelai, ijab qabul ibarat persalinan kedua karena pernikahan acap disebut pula dengan kelahiran kedua. Kelahiran pertama terjadi saat seseorang menghirup udara pertama di bumi, ketika itu masing-masing datang membawa amanah Allah kepada orang tua mereka. Kelahiran kedua saat seseorang memasuki gerbang perkawinan dengan ijab qabul, tetapi kini masing-masing menerima amanah Allah melalui orang tua mereka.
Selama menjadi amanah di tangan orang tua, mereka telah memelihara amanah itu dengan sekuat kemampuan. Ketulusan dan pengorbanan mereka persembahkan demi menunaikan amanah itu. Kini pada saat kedua mempelai menerima amanah, maka hendaknya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua masing-masing itu diletakkan di pelupuk mata dan jendela hati, agar sebesar itu pula kesungguhan dan keikhlasan bahkan pengorbanan kedua mempelai memelihara amanah yang diterimanya.

Ketiga, di balik kata “sah”. Begitu saksi mengucapkah “sah” di ujung ijab-qabul, para hadirin yang menyaksikan pun serentak mengiringi, “Sah!” Sang mempelai membatin satu sama lain, “Sekarang, aku halal bagimu!” Di sini kita perlu ingat sabda Rasul: wastahlaltum furûjahunna bikalimatillâh. Maka menjadi halal kehormatan mereka (hubungan ‘suami-isteri’) atas dasar kalimat Allah (HR Bukhari).
Apa yang dimaksud kalimat Allah? Dalam Al-Quran, kalimat Allah dinyatakan “telah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil serta tak ada yang dapat mengubahnya” (al-An‘am: 115); “ia penuh kebajikan” (al-A‘raf: 137); lagi “Mahatinggi” (at-Taubah: 40). Dengan kalimat itulah Allah menganugerahi Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut dan istrinya mandul “seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai, serta menjadi nabi” (Ali ‘Imran: 39). Dengan kalimat itu juga Allah menciptakan Nabi Isa tanpa ayah dan diakui sebagai “seorang terkemuka di dunia dan akhirat serta termasuk orang yang didekatkan kepada Allah” (Ali ‘Imran: 45).
Dengan demikian, akad nikah dengan kalimat Allah mengisyaratkan betapa sucinya peristiwa ini dan betapa indahnya bila perjalanan rumah tangga dinafasi oleh makna-makna di balik kalimat Allah, antara lain: kebenaran, keadilan, kelanggengan, kebajikan, dan dikaruniai anak saleh yang jadi panutan, pandai menahan diri, dan dekat kepada Allah sehingga menjadi orang terkemuka di dunia dan akhirat. (Shihab: 2010). Jadi, bukan hanya memperhatikan halalnya, tapi juga perlu internalisasi nilai-nilai di baliknya.

Menjaga dan Merawat Pernikahan
Satu kata yang sama sekali tidak diinginkan dalam kehidupan berumah tangga: “CERAI”. Sengaja saya tulis dalam huruf besar, karena dampak negatifnya sangat luar biasa besarnya dan termasuk perbuatan halal yang sangat dibenci Allah. Oleh karena itu, pernikahan tidak cukup hanya dibangun, tetapi juga harus dirawat dan dipertahankan, yang justeru merawatnya itu memerlukan perhatian khusus.
Pesan ini semakin penting untuk dicamkan ketika cerai kini kecenderungannya terus naik dalam masyarakat kita. Bahkan, angka perceraian di Indonesia itu tertinggi se-Asia Pasifik. Menurut data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI, selama 2005 sampai 2010, rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari 2.207.364 orang nikah se-Indonesia pada tahun 2010, ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian; tahun 2011 perceraian mencapai 333.844 kasus dari 2,3 juta perkawinan; dan tahun 2012 terdapat 346.446 pasangan yang bercerai dari 2.291.265 perkawinan. Dramatisnya, kalau rata-rata 300 ribu per tahun, berarti tiap bulan ada 25 ribu yang cerai, dan tiap hari ada 830-an perceraian, maka setiap jamnya terjadi sekitar 34 perceraian dan hampir setiap 2 menit ada 1 perceraian. Na‘ûdzu billâhi min dzâlik.
Ada banyak ragam penyebabnya, antara lain lemahnya tanggung jawab dan tingginya tuntutan terhadap hak, namun rendah dalam memenuhi kewajiban. Itu semua, diekspresikan dalam bentuk perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan terabaikannya pemenuhan nafkah lahir dan batin.
Ada rumus sangat sederhana dalam menjaga dan merawat pernikahan itu, yaitu: jaga dengan baik 3 (tiga) persamaan dan 1 (satu) perbedaan. Tiga persamaan tersebut diambil dari ‘simbol sama-sama’ (persamaan), mengapa seseorang itu menikah, yang tidak lain adalah karena (i) sama-sama ‘manusia’, (ii) sama-sama ‘hidup’, dan (iii) sama-sama ‘dewasa’. Itulah tiga persamaan, yaitu manusia, hidup, dan dewasa. Makna simbolis tadi tidak lain: kalau ingin langgeng pernikahan kita, maka pahami dan pegang teguh nilai-nilai tentang kemanusiaan, belajarlah tentang hakikat kehidupan, dan berperilakulah sebagaimana perilaku orang dewasa.
Sedangkan 1 (satu) perbedaan yang harus selalu dijaga adalah ‘laki-laki dan perempuan’. Maknanya, jadilah lelaki sejati dengan penuh tanggung jawab sebagai suami, dan jadilah perempuan sejati dengan penuh tanggung jawab, penuhi semua hak dan kewajiban sebagai isteri. Keempat hal diatas (tiga persamaan dan satu perbedaan) dimaksudkan untuk memperkuat prinsip ‘perlakukanlah isterimu dengan baik’ (wa’asyiruhunna bil ma’ruf). Dengan menjaga dan merawat tiga persamaan dan satu perbedaan tersebut, insya Allah pernikahan kita akan abadi.
Akhlak Bertengkar dalam Rumah Tangga
Berdasarkan pengalaman, bohong bila dalam rumah tangga dibilang tak pernah ada konflik dan perselisihan. Sebab, ada dua persepsi yang kerap berbeda. Perasaan kita juga fluktuatif—pasang surut atau yazid wa yanqush. Tapi konflik sejatinya adalah bagian dari kehidupan—bahkan terkadang diperlukan (selama terukur dan terkendali) untuk mengetahui tingkat kekohan rumah tangga sekaligus meningkatkan kualitas interaksi dalam rumah tangga.
Ada sebuah cerita kegemaran saya yang berasal dari Thailand Timur Laut: Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan, “Kuek! Kuek!”
“Dengar,” kata si istri, “itu pasti suara ayam.”
“Bukan, bukan. Itu suara bebek,” kata si suami.
“Nggak, aku yakin itu ayam,” si istri bersikeras.
“Mustahil. Suara ayam itu ‘kukuruyuuuuuuk!’, bebek itu ‘kuek! kuek!’ Itu bebek, Sayang,” kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.
“Kuek! Kuek!” terdengar lagi.
“Nah, tuh! Itu suara bebek,” kata si suami.
“Bukan, Sayang… Itu ayam! Aku yakin betul!” tandas si istri, sembari menghentakkan kaki.
“Dengar ya! Itu a… da… lah… be… bek, B-E-B-E-K. Bebek! Tahu?!” si suami berkata dengan gusar.
“Tetapi itu ayam!” masih saja si istri berkeras.
“Itu jelas-jelas bue… bek! Kamu ini… kamu ini…!”
Terdengar lagi suara, “Kuek! Kuek!” sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya.
Si istri sudah hampir menangis, “Tetapi itu ayam …”
Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya teringat, kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, “Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok.”
“Terima kasih, Sayang,” kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.
“Kuek! Kuek!” terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta (Ajahn: 2012).
Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar: siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu. Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal “ayam atau bebek”?
Setiap kali mengingat cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita. Keutuhan pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak bahwa kita benar, namun belakangan ternyata kita salah? Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek?
Selain itu, bertengkar di sini bukan berarti saling memukul atau menyakiti, ataupun sekadar ancaman untuk melakukannya. Pertengkaran, dalam situasi sehat, adalah luapan perasaan dan informasi tentang perbedaan pendapat yang sangat cepat dan biasanya gaduh. Pertengkaran adalah kebalikan dari diskusi tenang, karena emosi kita diungkapkan secara terang-terangan dan keras. Ini bukan pertanda pernikahan bermasalah, justru merupakan langkah penting untuk membangun lagi kedekatan yang tenggelam dalam ketidakacuhan. Bahkan tidak jarang, setelah ‘pertengkaran’ dapat diselesaikan, justru tumbuh kemesraan baru yang lebih berkualitas. Dalam pernikahan, tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan, seandainya terjadi miskomunikasi sehingga muncul pertengkaran. Yang penting, kedua pihak berusaha untuk menyelesaikannya secara cerdas, dewasa dan arif, terutama Sang Suami sebagai pemimpin (qawwamûn).
Jika kita tidak peduli, tak akan ada pertengkaran. Karena kita terlibat dan peduli itulah pertengkaran menjadi suatu keniscayaan. Kombinasi perbedaan dan kedekatan menciptakan aliran energi. Aliran energi yang kecil disebut diskusi, stimulasi, memberi dan menerima; sedangkan aliran besar disebut pertengkaran. Kemarahan yang terbentuk memungkinkan Anda mengungkapkan kebenaran yang sebelumnya tak mampu Anda suarakan. Dengan kata lain, hasil dari pertengkaran adalah tingkat kejujuran lebih tinggi.
Saat terjadi pertengkaran, sering pesannya sendiri amat positif. Kalaupun isi pesan itu adalah “Kau tidak mengerti aku, kau tidak menghiraukan kebutuhanku”, alasan Anda mengatakan itu adalah karena Anda ingin ada saling pengertian dan merasa hubungan ini layak diperjuangkan
Memang, pertengkaran bisa menjadi-jadi, dan tentu saja akhirnya merusak. Konflik dan pertikaian yang berlarut-larut hanya akan membawa kita kepada kesia-siaan dan kehancuran. Cerita George W Burns, seorang ahli psikoterapi, mengilustrasikan hal ini dengan baik dalam 101 Healing Stories.
Dikisahkan sepasang suami istri yang selalu bertengkar. Setelah berpuluh-puluh tahun mengasah keterampilan mereka bertengkar, mudah sekali konflik terjadi, bahkan terkadang disulut oleh masalah yang sangat sepele. Pada suatu hari sang suami yang baru pulang dari kerja melintas di sebuah kebun milik tetangga. Ia tergiur melihat buah mangga yang matang di pohon. Setelah memastikan keadaan aman, ia pun mencuri tiga buah. Setibanya di rumah, ia memberikan satu buah kepada istrinya, dan menyisakan dua buah untuk dirinya. Tahu bahwa sang suami mendapat dua buah, sang istri pun mengomel, “Kamu curang! Berikan yang satu lagi, aku kan lelah seharian mengurus rumah” Sang suami tidak kalah garang, ia menimpali, “Kamu yang tidak tahu diri, aku seharian bekerja di luar, banting tulang mencari nafkah, pantas kalau aku mendapat dua.”
Keributan pun terus meruncing sampai kemudian sang suami menawarkan bertaruh dengan satu buah miliknya, “Siapa saja yang paling lama diam, maka buah ini miliknya” Sang istri setuju, ia masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat mulutnya, sang suami berbaring di sofa dan mulai menghentikan pembicaraan. Keadaan ini pun berlalu hingga satu minggu.
Para tetangga tentu merasa heran, tidak biasanya rumah ini tenang, padahal setiap hari mereka selalu mendengar suara keributan bahkan tidak jarang mereka melihat piring terbang. Didesak oleh rasa penasaran, para tetangga memasuki rumah itu, mereka mendapati dua sosok suami istri itu berbaring lemah, membisu dan tiada bergerak lagi. Melihat keadaan suami istri yang tidak berdaya itu, mereka menganggap keduanya sudah mati, maka disiapkanlah upacara penguburan. Saat akan dimasukkan ke liang kubur, tiba-tiba sang suami berteriak keras ketakutan, “Kalian bodoh, aku belum mati, kenapa hendak dikubur?” Demi mendengar teriakan suaminya, sang istri pun lompat kegirangan sambil berkata, “Hore, aku menang, satu buah itu milikku” ia segera lari menuju rumahnya, sang suami mengejarnya. Mereka berlarian sekencang-kencangnya untuk mengalahkan saingannya memperebutkan buah mangga yang menjadi masalah. Setibanya di rumah, mereka mendapati tiga buah mangga itu masih tersimpan di dapur, dan semuanya sudah busuk!
Begitulah, konflik yang akut hanya membawa kita kepada kesia-siaan. Karena itu, kita perlu belajar bertengkar dengan aman dan sehat. Sebagai muslim, Islam telah menyediakan prinsip-prinsip penting yang bisa menyelamatkan kita dari pertengkaran yang menjadi-jadi, apalagi mengarah ke perceraian. Tanpa bermaksud menggurui, menarik untuk renungkan kembali tentang:
Pertama, komitmen pada perjanjian sakral. Tentang pernikahan, Tuhan berfirman: Dan, mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (al-Nisâ’ [4]: 21). Dengan kata lain, akad nikah itu disebut-sebut sebagai “mitsaqan ghalizha” (perjanjian yang kuat atau berat). Tuhan menggunakan bahasa yang sama ketika berbicara tentang perjanjian dengan Bani Israel (al-Nisâ’ [4]: 21) dan perjanjian dengan nabi-nabi: Nuh Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. (al-Ahzâb [33]: 7).
Dengan demikian, akad pernikahan sama seriusnya dengan perjanjian para nabi dan sama dahsyatnya dengan perjanjian Bani Israil di bawah Bukit Thur yang bergantung di atas kepala mereka. Di mata Tuhan, perjanjian pernikahan ini tidak main-main. Maka ketika kita bertengkar, sesengit apa pun, cukuplah piring yang pecah. Perang urat saraf boleh berkecamuk, tapi jangan sampai meninggalkan “gelanggang” (rumah). Komitmen kita untuk menjaga “mitsaqan ghalizha” ini bisa menyelamatkan kita dari pertengkaran berlarut-larut. Kita langsung ingat “gambaran besar” kenapa kita menikah dan berumah tangga.

Kedua, gemar bermusyawarah. Cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan kusut-masai persoalan rumah tangga. Persoalan hanya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, saling mengemukakan pendapat untuk mencari titik persamaan yang terbaik. Dalam musyawarah tidak ada pendapat yang dimenangkan dan dikalahkan, karena hasil musyawarah adalah perpaduan terbaik dari pendapat-pendapat yang ada.
Konon, musyawarah berasal dari kata syawr, yang berarti madu. Jadi, musyawarah mula-mula berarti mengambil madu dari sarang lebah. Artinya, musyawarah itu untuk “mencari madu” atau yang terbaik dari berbagai pendapat. Hasil dari musyawarah merupakan yang terbaik dari berbagai pandangan, laksana madu lebah yang tidak hanya manis tapi sekaligus menjadi sumber energi bagi yang meminumnya.
Yang menarik, dalam Al-Quran kita hanya menemukan tiga ayat tentang musyawarah. Pertama, diperintahkan kepada Nabi saw. untuk memusyawarahkan urusan masyarakat dengan masyarakat itu (Âli ‘Imrân: 159). Kedua, pujian Tuhan kepada orang mukmin yang senantiasa memusyawarahkan urusan mereka (al-Syûrâ: 38). Ketiga, musyawarah antar suami-istri (al-Baqarah: 233). Jadi, Tuhan Mahatahu betapa pentingnya musyawarah dalam keluarga.

Ketiga, prinsip pakaian satu sama lain. Allah berfirman, Mereka (istri-istrimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka (al-Baqarah: 187). Layaknya pakaian, masing-masing suami dan istri harus bisa menjalankan fungsinya sebagai (a) penutup aurat (aib atau sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya cuaca kehidupan, dan (c) kebanggaan dan keindahan bagi pasangannya.
Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diperkecil, dilonggarkan, ditambah aksesoris, dan sebagainya. Mengatasi perbedaan selera, kecenderungan, dan gaya hidup antara suami istri diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya apa yang dapat saya berikan, bukan apa yang saya mau. Mudah-mudahan dengan uraian diatas kita dapat mengelola rumah tangga kita dengan penuh kasih sayang.

Pesan Khusus untuk Anakku

Sebagai orangtua, izinkan Ibu dan Bapak secara khusus mempersembahkan ungkapan dan doa untuk pernikahanmu, Anakku tersayang: Rachma Rizqina Mardhotillah dan Berto Wibawa
Anakku Rizqina, engkaulah satu-satunya anakku yang akan meneruskan risalah Rasulullah Muhammad saw, cita-cita Ibu dan Bapak dan Embah serta Sesepuh-sesepuhmu.
Engkau dilahirkan pada saat Bapak sedang berjuang keras menyelesaikan studi yang didampingi Ibu dengan penuh ikhlas dan ketulusan. Ibumu rela cuti kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, semata ingin mendampingi dan berbakti kepada suami untuk meringankan tugas Bapak di negeri jauh di sana, Montpellier Perancis. Dengan beasiswa yang sangat terbatas, Bapak dan Ibu berjuang untuk menggapai cita-cita demi kemuliaan dan kemartabatan sebagai ummat Kanjeng Nabi Muhammad.
Ibumu setiap hari menyiapkan sarapan pagi dengan menu utama roti khas Perancis ‘baguette’ dan telur dadar, susu dan madu. Setiap akhir pekan, Bapak dan Ibu belanja di Bouchery yang menyiapkan daging halal, dan selalu dapat bonus ceker dan kepala ayam, karena memang selalu pesan kepada Si Penjual, agar ceker dan kepala ayam jangan dibuang. Akhir pekan yang paling bahagia adalah akhir pekan awal bulan, karena saat itulah keinginan bisa jalan-jalan di Place de la Comedie (pusat kota Montpellier) sambil makan Mac Donald terpenuhi.
Meskipun tinggal di Perancis dengan sejumlah kota wisata yang sangat terkenal dan berdekatan dengan negara-negara lain, namun tidak jarang hanya cukup puas mendengarkan cerita dan melihat di TV akan keindahan dan keterkenalan kota-kota tersebut. Setiap hari kegiatan rutin Bapak adalah menyelesaikan tugas-tugas di Lab, pulang dan pergi berjalan kaki yang berjarak sekitar 2,5 km sekali jalan (sehari 4 kali jalan). Berangkat pagi-pagi dan pulang malam hari. Semuanya Bapak dan Ibu jalani dengan penuh kesyukuran dan kebahagiaan.
Dalam suasana kehidupan seperti itulah, di Rumah Sakit Maternite Montpellier Perancis, Ibumu berjuang dengan taruhan nyawa sambil menahan rasa sakit, dan Bapak sambil memegang tangan Ibu untuk memberikan semangat dan doa, akhirnya lahirlah seorang bayi mungil pada tanggal 19 Desember 1989, aku adzani-qomati dan aku beri nama Rachma Rizqina Mardhotillah. Kebahagiaan Ibu, tiba-tiba berubah menjadi kesedihan, karena Sang bayi tidak boleh langsung dibawa pulang karena kulitnya sedikit menguning dan harus masuk inkubator, Sang dokter menyebutnya bayi ini mengalami sedikit peningkatan Bilirubin. Selama 3 hari, Rizqi kecil berada dalam inkubator, dan setiap hari Bapak sebelum ke Labo mengirim ASI yang telah Ibu masukkan ke dalam botol karena Ibu sangat ingin memberikan ASI eksklusif untuk putri tercintanya.
Kehadiran Rizqina kecil memang menghadirkan kebahagiaan tersendiri, termasuk menambah rezeki, karena saat itu Pemerintah Perancis melalui ‘Securite Sociale’ memberikan tunjangan bagi setiap anak yang lahir di Perancis. Kugendong sambil kusanjungkan shalawat, di sela-sela aktivitas keseharian seorang Thesard yang sedang merampungkan Tesis Doktoralnya. Ibu pun juga rela disamping ‘momong’ anak kesayangannya sendiri juga ‘momong’ anaknya kawan yang kedua-duanya sedang kuliah.
Alhamdulillah, akhirnya Bapak bisa ‘Soutenance’ ujian terbuka dan dinyatakan lulus pada tahun 1990 dan kembali ke Tanah Air. Hari terus berjalan, pada saat memasuki usia sekolah, meskipun sebenarnya belum saatnya masuk TK-SD, Bapak sekolahkan Rizqina di Al Islah Gunung Anyar tempat Bapak sekolah dulu, dengan harapan supaya memiliki fondasi keagamaan yang baik dan bisa bersahabat dengan anak-anak dari kalangan bawah untuk memperhalus, mempertajam, dan memiliki kepekaan sosial. Aku ingat pesan Nabi: Tak ada pemberian orang tua kepada anak yang lebih utama dibanding budi pekerti yang baik.” (HR Tirmidzi).

Kini, Rizqi kecil telah dewasa (tamyiz), setelah lulus Sarjana Teknik Elektro ITS, kau melanjutkan program Magister di Duisburg Essen University Jerman, dan kau sendiri yang menentukan pilihan calon suamimu, pendamping dan imammu, Ibu dan Bapak telah ridha dan merestuimu, setelah persyaratan dasar dipenuhi oleh calon suamimu Mas Berto. Bapak dan Ibu tentu punya harapan dan berpesan:
“Niatkan pernikahanmu sebagai bagian ibadah kepada Allah. Sehingga ringan bagi kalian berdua untuk saling mendekatkan diri kepada Allah. Jadilah sepasang doa yang saling mengamini. Tujuan sebuah rumah tangga bukan terbatas untuk meraih kesenangan duniawi, melainkan sebagai sarana untuk meraih tujuan ukhrawi yang abadi. Sepasang suami istri memang bisa dipisahkan di dunia karena kematian, tapi mereka masih bisa bersatu kembali kelak di akhirat. Mereka bersama pasangan mereka bernaung di tempat yang teduh (Yasin: 56). Bahkan, semoga semua anggota keluarga kita juga bergabung sebagaimana dalam firman-Nya: Surga Aden yang mereka masuki bersama bapak-bapak mereka, pasangan dan anak cucu mereka, serta malaikan-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu … (ar-Ra‘d: 23).”
Selain itu, Bapak-Ibu berpesan, agar engkau biasakan dan tradisikan dalam rumah tanggamu, hal-hal berikut ini, Insya Allah keutuhan dan kebahagiaan rumah tanggamu bisa tetap terawat dengan baik:
1. Biasakan shalat berjamaah, shalat dhuha, dan secara khusus dirikan shalat malam
2. Carilah rezeki yang halal dan sisihkan setiap kali mendapatkannya, berapa pun besarnya untuk berbagi kepada orang lain (sedekah).
3. Hiasi dan terangi rumahmu dengan bacaan Al-Quran dan shalawat.
4. Tetaplah berbakti dan menghormati kedua orang tua dan
5. Biasakan saling menghargai dan menghormati serta berlaku santunlah antara kamu dengan suamimu (wa’asyiruhunna bil ma’ruf)

Terakhir, Bapak teringat tentang hadiah paling besar yang diberikan Rasulullah kepada putrinya, Fatimah Az Zahra ketika dipersunting oleh Sayidina Ali k.w., yang kini kerap kita temukan dalam undangan-undangan resepsi perkawinan sebagai doa Nabi pada pernikahan Fatimah dan Ali. Dengan berharap keberkahan dan syafaat Rasulullah, izinkan Bapak dan Ibu juga memberikan hadiah itu pada pernikahanmu. Kurang lebihnya hadiah itu berbunyi: Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya, memberkahi mereka berdua, dan kiranya Allah meningkatkan kualitas keturunan mereka menjadikan pembuka pintu-pintu rahmat, sumber ilmu, dan hikmah, serta pemberi rasa aman bagi amalnya. Selamat dan semoga keberkahan senantiasa tercurahkan dalam kehidupan rumah tanggamu, Ibu dan Bapak senantiasa mendoakanmu. [Mohammad Nuh]

No comments:

Post a Comment