Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan saudara Baskoro Endrawan di sini (http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/29/kenapa-musti-paranoid-dengan-islam–603282.html).
Sebelum saya mulai dengan tanggapan saya, saya ingin memberi batasan batasan pada tulisan ini. Batasan pertama yaitu bila saya menyebut Islam atau hal hal yg berkaitan dengan Islam, maka Islam yg saya sebut adalah Islam dalam konteks Indonesia yang dimengerti dan dipraktekan oleh orang Indonesia. Islam di mana saja sama, tetapi pengertian dan prakteknya berbeda. Islam di Arab Saudi, Dubai, Pakistan, Afghanistan, US, Iran, Palestina, Prancis, China, Malaysia, dan Indonesia mempunyai warna yang berbeda tergantung keadaan sosial dan politik di negara bersangkutan. Hal ini mempengaruhi pandangan orang lokal(muslim maupun non muslim) terhadap Islam. Batasan kedua adalah, pendapat yg saya tuliskan ini adalah pendapat yang mewakili saya pribadi, bukan segolongan orang, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada orang lain yg sependapat sebagian atau seluruhnya.
Latar belakang saya adalah non muslim. Tulisan saudara Baskoro membuat saya berpikir: apakah saya takut pada Islam sampai pada level paranoia? hal apakah tentang Islam yang saya takuti?
Islam adalah agama yg luas cakupannya, selain agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, Islam juga juga mengatur bagaimana bermasyarakat dan bernegara melalui syariah. Secara jujur saya mengaku bahwa saya tidak takut pada agama Islam karena semua agama mengajarkan kebaikan. Saya juga tidak takut pada syariah Islam. Sebagian hukum syariah, seperti hukum yang lain, berfungsi untuk menjaga dan menegakkan norma norma kemasyarakatan. Selama saya tidak melanggar norma tersebut, saya tidak perlu takut.
Walau begitu, ada sesuatu berkaitan dengan Islam (di Indonesia) yang membuat saya takut. Apakah ketakutan saya ini sebuah paranoia? Menurut wikipedia(http://en.wikipedia.org/wiki/Paranoia) Paranoia adalah prosess berpikir yang dipengaruhi oleh kekuatiran atau ketakutan yang membuat pikiran menjadi irasional dan mengada ada. Penderita paranoia biasanya membikin tuduhan yang tidak benar atau menunjukkan ketidakpercayaan pada object yang ditakuti. Apakah saya paranoid terhadap Islam di Indonesia sama seperti sebagian muslim di Indonesia paranoid terhadap Zionist dan Freemason. Jawabannya adalah tidak sama. Bedanya adalah ketakutan saya berawal dari pikiran yang rasional dan berakhir dengan pikiran yang masih rasional.
Tidak seperti yang saudara Baskoro tuliskan, sumber ketakutan saya bukanlah karena ada yang berpakaian arab atau ada yang berkeinginan untuk menerapkan syariah di Indonesia. Jika mereka muslim, dan punya pandangan hidup yang Islami, tidak ada salahnya untuk memakai pandangan hidup mereka yang mereka anggap baik untuk diterapkan dalam bermasyarakat melalui penerapan Syariah. Contoh contoh yang ditulis saudara Baskoro Endrawan tidak menyentuh apa yang menjadi akar ketakutan saya. Yang saya takuti adalah sikap sebagian dari muslim Indonesia yang menghendaki didirikannya negara Islam di Indonesia dengan syariahnya.
Sikap pertama yang menakutkan adalah sikap anti kritik. Anti kritik tidak selalu berarti membungkam kritik (walau tidak tertutup kemungkinan ini bisa terjadi baik melalui hukum ataupun anarki). Sikap yang menganggap bahwa sesuatu itu sempurna tanpa melalui proses perbandingan, dan analisa yang objektif secara otomatis akan menutup ruang bagi diskusi dan debat dalam mengambil keputusan yang terbaik. Setiap muslim meyakini bahwa Islam agama yang sempurna, untuk segala jaman, dan satu satunya kebenaran. Dan saya sebagai non muslim menghormati kepercayaan tersebut karena kepercayaan seseorang adalah hak yang tidak dapat diambil dengan cara apapun. Tetapi ketika kepercayaan tersebut berujung kepada keinginan untuk menerapkan khilafah dan syariah dengan alasan bahwa hukum dan negara Islam adalah yang sempurna dan harus diterapkan karena berasal dari Allah, maka secara natural hal ini akan menuai resistansi. Bila kebenaran agama adalah suatu yang subjectif yang diyakini, tidak demikian dengan hukum dan system kenegaraan. Dua hal terakhir tersebut bisa dibandingkan dengan hukum dan system lain yang bersumber pada hal lain selain agama Islam, dan dikaji baik buruknya, cocok atau tidaknya untuk diterapkan. Tetapi begitu ada aspek dari hukum dan system negara tersebut yang dikritik karena tidak menimbulkan kebaikan, atau bahkan bertentangan dengan nilai nilai kemanusiaan maka hal ini bisa dilihat sebagai kritik terhadap agama dan mengalami penolakan. Para pengritik bisa disebut pembenci Islam bila non muslim atau kaum Islam liberal bila muslim.
Syariah Islam tidak semuanya bisa diterapkan di Indonesia pada jaman modern dimana kondisi sosial telah berubah dan berbeda dengan kondisi sosial pada saat Quran diturunkan. Contoh yang bisa diterapkan adalah sistem perbankan dan finansial Islam yang diterapkan sebagai alternatif (bukan pengganti) system yang telah ada. System syariah ini bisa diterima oleh muslim maupun non muslim. Contoh syariah yang tidak sesuai dengan keadaan sosial masa kini adalah hukum waris. Islam membedakan antara proporsi warisan yang diterima anak perempuan dengan anak laki. Perempuan menerima proporsi yang lebih sedikit dengan alasan bahwa laki laki mempunyai kewajiban untuk memelihara istrinya, sehingga otomatis anak perempuan menjadi tanggungan suami. Hukum ini tentu tidak dapat diterapkan pada kondisi sosial di Indonesia masa kini dimana penundaan umur perkawinan terutama bagi perempuan mulai menjadi hal yang lazim. Dengan semakin banyaknya jenis pekerjaan dan lapangan pekerjaan yang terbuka bagi wanita dan tingginya tingkat pendidikan makin tinggi pula partisipasi wanita dalam dunia kerja. Bisa jadi justru suami menjadi tanggungan istri bila suami gagal mendapat pekerjaan. Di Indonesia, hukum ini juga tidak berlaku di budaya Minang yang menganut system matriachal. Contoh lain yang tidak bisa diterapkan adalah hukum potong tangan. Hampir semua kegiatan sehari hari kita memerlukan tangan, bila seorang mencuri karena tidak punya uang sebagai akibat tidak punya pekerjaan, maka hukuman potong tangan justru menghambat dia mendapat pekerjaan setelah dia menerima hukuman. Memang dia susah untuk mencuri lagi, namun dia akan menjadi beban negara. Saya hanya menyebutkan tiga contoh di sini. Hukum hukum yang lain bisa dinaalisa kecocokannya untuk diterapkan di Indonesia hukum per hukum.
Sebagai system kenegaraan yang mengatur kontrak antara negara dan warga negara, khilafah mempunyai persamaan dengan negara non khilafah (misal demokrasi sekular). Tiap warga negara baik muslim maupun non muslim berhak mendapat keadilan di depan hukum, berhak mendapat kesejahteraan, mendapat perlindungan bila negara dalam keadaan perang, berhak ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Yang menjadi perbedaan adalah bila di negara demokrasi sekuler tiap warga negara baik muslim maupun non muslim mempunyai hak yang sama dalam segi sosial, ekonomi, hukum, pemerintahan, maka di negara khilafah muslim dan non muslim mempunyai kedudukan yang berbeda. Kedudukan muslim lebih tinggi daripada kedudukan non muslim (ref 2 par 9). Non muslim tidak diperkenankan memegang jabatan pos-pos kekuasaan atas umat Islam. Selain itu, non Muslim tidak berhak berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah. Non muslim bisa bekerja sebagai bawahan dalam pemerintahan tapi tidak sebagai atasan. Penolakan Lurah Susan di Lenteng Agung adalah contoh dari penerapan hukum khilafah di Indonesia. Dalam hal perpajakan pun ada perbedaan antara muslim dan non muslim. Bila muslim membayar zakat, maka non muslim membayar jizyah. Negara khilafah tidak menarik pajak karena haram kecuali kalau terpaksa jika kas negara kosong. Walau namanya bukan pajak tapi prinsip zakat dan jizyah sama yaitu mengambil dana dari masyarakat untuk didistribusikan kepada masyarakat yang butuh. Tetapi karena berbeda system, maka zakat dan jizyah bisa mempunyai nilai yang berbeda. Perlakuan yang berbeda ini bisa menimbulkan friksi antara muslim dan non muslim tidak peduli bila zakat yang ditarik lebih tinggi atau kebalikannya. Ketika kita berada di system kolonialisme Belanda, Belanda memberlakukan system yang mirip dimana non pribumi diperlakukan lebih istimewa dan menempati posisi tinggi. Hal ini kita lihat mempunnyai dampak yang panjang terhadap hubungan pribumi dan non-pribumi. Dan saya yakin penerapan system dalam khilafah yang membedakan perlakuan antara muslim dan non muslim akan memberi dampak negatif dalam jangka panjang terhadap hubungan mereka.
Perlakuan yang berbeda kepada manusia karena ras, warna kulit, agama, suku, golongan, status sosial disebut sebagai diskriminasi. Berbagai negara di dunia ini sampai sekarang masih terus berusaha untuk mengentaskan masyarakat mereka dari perlakuan diskriminatif dengan tingkat keberhasilan yang bermacam macam. Tetapi bila negara sendiri yang mensponsori tindakan yang diskriminatif, bahkan membuat dasar negara yang melegalkan perbuatan tersebut, maka patut dipertanyakan apakah negara tersebut dibangun di atas dasar keadilan. Tuhan memberi hukum Taurat kepada bangsa Israel/Yahudi melalui Nabi Musa, dan hukum Syariah dalam Quran kepada bangsa Arab melalui Nabi Muhammad, tetapi Tuhan juga memberi hukum keadilan kepada tiap manusia tanpa terkecuali tidak peduli agama dan rasnya. Ini adalah bagian dari anugerah Tuhan supaya manusia bisa membangun tatanan sosial yang adil yang merefleksikan keadilan Tuhan. Salah satu test yang bisa dilakukan untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak: sebelum anda melakukan sesuatu kepada orang lain, tanyakan pada diri anda apakah anda mau diperlakukan seperti apa yang akan anda lakukan kepada orang lain.
Hal ini membawa saya pada sikap menakutkan (sebagian muslim Indonesia) kedua. Bila seseorang mengatakan sesuatu yang jelas jelas tidak adil sebagai sesuatu yang adil maka menakutkan sekali orang itu karena ketika dia melakukan ketidak adilan itu hati nuraninya sudah tidak bisa berfungsi untuk memberi koreksi akan perbuatannya. Dia akan melakukan ketidak adilan dengan bangga seolah olah dia berbuat sesuatu yang baik. Ketika seseorang melakukan itu seorang diri, tindakannya masih bisa ditahan bila orang lain sekelilingnya mengkritisi, tetapi bila yang melakukan banyak, maka kritik dari luar tidak akan terdengar lagi.
Dengan apa yang sudah saya paparkan, silahkan pembaca menentukan apakah saya pantas untuk paranoid atau tidak.
Catatan:
Sebelum ada orang Islam yang menghujat saya, saya akan klarifikasi bahwa saya tidak mengatakan bahwa apa yang tertulis di Quran dan Hadith mengenai pembedaan perlakuan antara non muslim dan muslim, yang menjadi dasar bagi RUU negara khilafah adalah hal yang salah dan tidak adil. Keputusan yang diambil waktu itu diambil dalam konteks sejarah waktu itu karena adanya peperangan antara muslim dan non muslim. Tentu kedua pihak tidak bisa saling percaya dan menjadikan pihak lain sebagai pemimpin mereka. Konteks keadaan sosial politik waktu itu tidak bisa disamakan dengan konteks Indonesia sekarang.
Saya tidak membenci Islam, orang Islam ataupun siapa saja. Sebisa mungkin saya tidak ingin hati saya tercemari dengan kebencian. Suatu kritik tidaklah harus berakar dari kebencian. Kita hanya perlu untuk melihat dunia ini dan membandingkan apa yang baik dengan apa yang buruk, apa yang baik dengan apa yang lebih baik. Yang dibutuhkan untuk mengkritik hanyalah observasi terhadap apa yang ada, kebencian tidak dibutuhkan.
No comments:
Post a Comment