18.12.13

Budaya dan Nilai Sunda: Akulturasi Islam dan Sunda

Image

Dalam sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah dan peradaban Islam; muncul sebuah pertanyaan: apakah selama ini sudah terjadi akulturasi antara Islam dan Sunda atau baru kompromi? Pertanyaan tersebut dilemparkan oleh Iip D. Yahya, seorang penulis biografi kiai-kiai dan periset sejarah. Namun sayang tidak ada merespon sehingga saya coba mendiskusikan dengan seorang kawan yang memiliki kepedulian tentang kesundaan.

Kawan saya berpendapat bahwa Islam dan Sunda (khususnya dalam budaya) telah terjadi akulturasi. Bukan kompromi yang dapat diartikan sebagai dua entitas yang berhadapan tanpa ada kesepakatan untuk bersatu atau damai. Namun fenomena Islam masuk ke ranah budaya Sunda tidak seperti Kejawen, yang dapat dikatakan sebagai Islam yang ditafsirkan dalam budaya Jawa.

Akan tetapi, untuk Sunda antara budaya Sunda dan Islam bisa berdampingan dan saling mengkuatkan. Misalnya dalam acara adat pernikahan dan seni rudat dalam sunatan/khitanan, khazanah tersebut diisi ajaran-ajaran Islam. Karena itu, budaya yang diisi ajaran-ajaran Islam tersebut menjadi bentukan baru antara Sunda (tarian) dan Islam (babacaan dan kawihnya) dan seni rudat mereplace acara Sunda sebelumnya yang berbau Hindu. Hal itu terjadi karena suatu ajaran/nilai yang datang ke suatu bangsa/kawasan pasti akan mengalami pengkayaan akibat pengaruh budaya yang dibawa pada kawasan tersebut. Pengkayaan budaya inilah yang menjadi khas Islam-Sunda yang sangat berbeda dengan Islam Jawa, Islam Arab, Islam Eropa, dan lainnya.

Bahkan kalau dilihat dalam konteks universal, Sunda mempunyai nilai tersendiri; yang mungkin seperti agama; sebelum dimasuki ajaran agama dari luar. Untuk memahami persoalan ini sedikitnya akan kita pahami kalau menggunakan tesis Mat I Dimon, seorang penulis keturunan Yahudi. Dalam buku ”Jew, God and History”, Dimon menyebutkan bahwa sesederhana apa pun suatu bangsa (atau suku bangsa) kalau pernah eksis, apalagi kalau masih eksis maka memiliki nilai-nilai pokok yang universal. Bahkan, nilai-nilai tersebut berpeluang untuk menjadi titik tolak kebangkitan kembali kejayaan bangsa tersebut. Dimon sendiri membuktikan hal itu dengan mencontohkan bangsa Yahudi. Meski sudah diusir dan dibinasakan, mereka tetap bangkit kembali dan eksis. Pertanyaannya, dengan nilai-nilai apakah mereka bangkit? Menurut Dimon, setelah dianalisis ternyata kaum Yahudi memiliki nilai-nilai pokok yang universal, seperti perhatian yang besar terhadap ilmu dan teknologi serta ketaatan kepada pemimpin mereka (Rahib maupun pemerintah).

Untuk melihat apakah Sunda memiliki nilai-nilai universal maka secara operasional harus dilihat pada masa eksis Kerajaan Sunda.

Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Salakanagara dapat dijadikan titik tolak bahwa sejak abad 1 Masehi bangsa Sunda hingga sekarang sudah ada selama hampir 2000 tahun. Apabila Kerajaan Sunda-Galuh (abad 10-13 Masehi) yang menjadi acuan, bangsa Sunda sudah eksis selama 700 tahunan. Bahkan saat Prabu Wastukancana memerintah, tercatat lamanya pemerintahan sekitar 100 tahun lebih. Pemerintahan tersebut berdiri dengan kondisi kerajaan dan warganya yang aman tenteram kertaraharja. Karena itu, berdasarkan tesis Dimon, Sunda pernah eksis sehingga besar kemungkinan memiliki nilai-nilai pokok. Setelah dianalisis oleh kawan saya bahwa nilai-nilai pokok universal Sunda adalah silas, kabuyutan, dan ngertakeun bumi lamba.

Meskipun tidak berwujud kembali pada kerajaan, tetapi kejayaan atau kehormatan bangsa/suku Sunda di mata dunia telah tercatat dalam sejarah dunia. Dengan modal pernah eksis dan mengalami kejayaan pada masa lalu, bukan berarti masyarakat Sunda kiwari harus berontak untuk mendirikan negara Sunda. Justru dengan nilai-nilai pokok universal Sunda dapat menjadi modal untuk membangkitkan kejayaan Sunda dalam bentuk provinsi sebagai bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

No comments:

Post a Comment