Lahir di tengah keluarga Kristen pada tahun 1964, nama asli Burhanudin adalah Parman Siagian. Enam dari sebelas saudaranya tumbuh menjadi pendeta dari berbagai macam ordo Kristen. Sementara Burhanuddin sendiri menemukan hidayah dengan cara yang unik.
“Kalau Islam ada acara musabaqoh tilawatil qur’an, di Kristen ada acara liturgy, ketika saya masih SD, saya ikut dalam acara liturgy dan mendapat giliran menyampaikan hapalan saya tentang keharaman babi (imamat 11:7). Saat itu hapalan saya disalahkan karena dianggap berbeda dengan apa yang tertulis dalam Alkitab kawan-kawan saya. Di alkitab saya (tahun 1973) tertulis hanya ‘babi’ saja sementara di Alkitab lain tertulis ‘babi hutan’. Hal-hal semacam ini (kontradiksi) yang membuat saya ragu dengan ajaran Kristen sendiri,” jelasnya.
Setelah masuk Islam, Burhanuddin Siagian memperdalam keislaman dengan belajar di pesantren Musthofawiyyah Tapanuli Selatan dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Setelah lulus dan mendapatkan gelar S2, Burhanuddin terpanggil dengan keprihatinan terhadap nasib umat Islam di kampung halamannya. Dia pun memutuskan untuk terjun sebagai Da’i.
Selain menghadapi kekuatan arus Kristenisasi, Burhanuddin juga menyampaikan tantangan lain dalam berda’wah di pedalaman Tapanuli Utara.
“Aqidah Islam saat ini masih banyak ditentang oleh masyarakat lewat tradisi lokal,” ujarnya.
Burhanuddin juga menghimbau agar umat Islam di seluruh Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap kasus Kristenisasi yang terjadi di daerah terpencil.
“Daerah terpencil, miskin dan kurang subur justru adalah lahan yang subur bagi pemurtadan, banyak kasus di Sumatera Utara yang harus menjadi perhatian umat Islam. Di Medan, saat ini ramai masjid dijual kepada developer untuk diganti dengan pusat perbelanjaan. Belum lagi para pengungsi muslim letusan Gunung Sinabung yang kini banyak bernaung di gereja-gereja,” paparnya. [eza/Islampos]
No comments:
Post a Comment