Jundub ibn Abdullah al-Bajali meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengirim sekelompok sahabat untuk memerangi kaum musyrik. Kedua pihak pun bertemu di medan perang. Seorang musyrik bertempur dengan hebat dan membunuh banyak pasukan muslim. Lalu seorang muslim, menurut keterangan Jundub adalah Usamah ibn Zaid, bergerak dengan cepat melawan orang itu dan berusaha membunuhnya.
Saat Usamah hendak menebaskan pedangnya, orang musyrik itu berseru, “la ilaha illallah.” Namun yang terjadi selanjutnya, Usamah tetap membunuh orang itu. Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah saw. yang kemudian segera memanggil Usamah dan menanyainya, “Mengapa kau tetap membunuhnya?”
Usamah menjawab, “Wahai Rasul, ia telah menyebabkan banyak penderitaan kepada kaum muslim. Ia membunuh beberapa korban—seraya menyebut satu per satu korban orang musyrik itu. Karena itulah aku menyerangnya, dan saat hendak kutebas, ia berucap la ilaha illallah.”
Rasulullah saw. bertanya, “Dan kau tetap membunuhnya?”
“Ya.”
“Apa yang akan kau lakukan ketika la ilaha illallah muncul pada Hari Kebangkitan?”
Usamah segera menjawab, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan untukku.”
Rasul kembali bertanya, “Apa yang akan kau lakukan ketika la ilaha illallah muncul pada Hari Kebangkitan?”
Di dalam riwayat lain Usamah ibn Zaid menuturkan, “Rasulullah saw. mengutus kami untuk memerangi kaum musyrik dan kami tiba di al-Haraqat dekat Juhainah di pagi hari. Dalam pertempuran itu aku menangkap seorang musyrik dan saat aku hendak menebas lehernya, ia mengucapkan la ilaha illallah,namun aku tetap membunuhnya. Aku merasa bersalah dan kemudian kulaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah bertanya, “Ia telah mengucapkan la ilaha illallah dan kau tetap membunuhnya?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan kalimat itu hanya untuk menyelamatkan dirinya dari pedangku.”
“Apakah engkau telah mengetahui isi hatinya? Bagaimana kau bisa yakin apakah ia tulus atau tidak?”
Tak seorang pun, yang tahu isi hati. Bahkan Nabi saw. sendiri tak mengetahui isi hati tiap-tiap umatnya secara pasti. Islam sendiri tidak bisa menghukumi persoalan hati. Ia terletak dalam dan hanya Allah ta’ala yang mampu menjangkaunya. Itulah sebab mengapa Nabi saw. kemudian memarahi Usamah ibn Zaid yang padahal sudah dianggap seperti cucu sendiri. Ia sering berada dalam pangkuan beliau sejak masih amat kecil.
No comments:
Post a Comment