27.2.15

Tafakur: Mengambil Hak Orang

Mengambil Hak Orang

Oleh Jarjani Usman

“Siapa saja yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya dia bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan Dia sangat murka kepadanya” (HR. Ahmad).

Dalam suatu hadits dikisahkan tentang tiga orang yang terjebak di sebuah gua. Pintu guanya tertutup batu besar. Masing-masing bermohon kepada Allah agar lepas dari kesulitan itu. Seorang di antaranya berdoa seraya mengungkapkan bahwa ia dulu pernah (pernah menjadi majikan yang) mempekerjakan seseorang. Namun tiba-tiba pekerjanya itu menghilang pergi entah kemana dan tak mengambil upahnya.

Suatu hari pekerja itu kembali untuk menagih upahnya. Lalu majikannya mengatakan bahwa upahnya telah dikembangkan dengan membeli sejumlah binatang ternak, yang kemudian berkembang biak sehingga menjadi sangat banyak. Lalu diserahkan semua binatang ternak itu kepada mantan pekerjanya itu, yang ia anggap itu memang haknya.

Lalu saat memohon agar lepas dari kesulitannya saat di gua, sang majikan itu berkata kepada Allah, “Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmatMu dan takut akan siksaMu, maka lepaskanlah (kesulitan) kami.” Batu besar itu pun bergeser.

Demikianlah pertolongan Allah diberikan kepada orang yang tak mengambil hak orang lain. Sebaliknya, Allah sangat murka kepada hamba-hambaNya yang mengambil jatah orang lain. Sehingga sangat wajar bila Rasulullah SAW melarang mengambil hak orang lain, meskipun sebatang kayu siwak.

Namun di zaman sekarang, perkara mengambil hak orang lain seringkali dianggap tak menakutkan. Bahkan semakin pandai dan tinggi kedudukan seseorang, semakin dahsyat cara melakukannya. Di antaranya dengan membuat aturan-aturan yang kesannya membenarkan. Padahal Allah maha tahu segalanya, meskipun yang disamarkan melalui aturan yang bermacam-macam.

No comments:

Post a Comment