21.7.13

Kepemimpinan Rasul di Madinah


Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, tokoh-tokoh liberal selalu menjadikan kepemimpinan Rasulullah di Madinah, khususnya dengan adanya piagam Madinah, sebagai pembenaran akan pendapat dan pemikiran mereka.

Rasulullah sangat toleran dan tidak bersikap keras terhadap golongan agama lain yang ada di Madinah pada waktu itu dan membiarkan mereka menjalankan ajaran agama mereka secara bebas. Bagaimana sesungguhnya memandang kepemimpinan Rasulullah di Madinah?

Ardiansyah Firman - Yogyakarta

Waalaikumussalam wr wb.

Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al-Mumtahanah [60]: 8).

Dalam ayat ini, Allah menegaskan, tidak ada larangan bagi orang beriman berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi agama Islam. Juga, tak mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman mereka.

Dalam ayat lain, Allah memerintahkan, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Dialah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS al-Anfal [8]: 61).

Allah menegaskan pula, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 256).

Inilah yang menjadi sandaran Nabi dalam berinteraksi dengan orang-orang kafir. Beliau memang sangat toleran dan penuh kasih sayang, baik kepada kaum Muslimin maupun kepada non-Muslim.

Banyak orang kafir dan musyrik yang masuk Islam karena keluhuran budi dan kemuliaan akhlak Nabi. Hal itulah yang beliau tuangkan dalam piagam Madinah yang dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia.

Semua golongan, umat Islam dengan kaum Muhajirin dan Ansharnya, kaum Yahudi dengan berbagai kabilahnya, dan orang-orang musyrik Madinah dilindungi dan dibiarkan bebas menjalankan ajaran agama masing-masing. Tetapi, dengan syarat mereka mematuhi piagam Madinah dan tidak mengkhianati isinya.

Namun, ketika isi perjanjian dalam piagam Madinah itu dilanggar salah satu pihak yang bersepakat, sebagaimana kaum Yahudi dari Bani Quraizhah ketika melanggar piagam Madinah, berkhianat dengan membantu musuh-musuh Islam dalam perang Khandaq, Rasulullah memerangi dengan mengepung mereka sampai 25 malam hingga akhirnya mereka menyerah.

Lihatlah bagaimana hukuman yang dijatuhkan Rasulullah kepada Yahudi dari Bani Quraizhah. Rasulullah menyerahkan hukuman atas mereka kepada Sa’d bin Mu’az yang kemudian memutuskan semua laki-laki Yahudi Bani Quraizhah dibunuh, wanita dan anak-anaknya dijadikan tawanan, sedangkan hartanya dijadikan harta rampasan perang yang dibagikan kepada kaum Muslimin. Inilah konsekuensi dari Piagam Madinah tersebut.

Kalau kaum liberalis memperhatikan hukuman ini, mungkin mereka akan berpikir ulang untuk mengatakan bahwa Nabi sangat toleran atau malah sebaliknya, menuduh Nabi sebagai pemimpin sadis yang kejam.

Begitu juga sikap Nabi terhadap kaum kafir yang memerangi Islam dan tidak bersikap damai. Rasulullah bersikap tegas dan selalu melindungi hak dan kepentingan kaum Muslimin.

Hal itu sesuai firman Allah, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Mumtahanah [60]: 9).

Dan dalam hadis Nabi juga dijelaskan mengenai persoalan ini. Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak pernah juga memukul seorang pembantu. Beliau hanya memukul jika sedang berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu pun, lalu beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali, jika ada sesuatu di antara perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, beliau akan membalas dengan hukuman hanya karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bish shawab.

Ustaz Bachtiar Nasir

No comments:

Post a Comment