Umat muslim bukanlah umat yang terbelakang. Mereka adalah para cendekiawan yang menguasai segala bidang ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu sosial, sains sampai teknologi. Rujukan mereka adalah Al-Qur’an yang agung, dengannya mereka mengamati, berpikir, dan menemukan banyak hal. Melalui hasil karya dan pelbagai penemuannya yang spektakuler, mereka dapat memajukan sebuah peradaban dan menginspirasi dunia.
Mereka menemukan globe, parasut, rumah sakit, universitas, ilmu optik, ilmu astronomi dan masih banyak lagi. Tidak sedikit dari bangsa lain yang menakzimkan umat muslim atas kecerdasan dan kewibawaannya. Bahkan sebagian dari mereka sengaja mendatangi orang muslim untuk minta diajari, berharap mendapatkan sebuah pencerahan untuk dibawa pulang.
Umat muslim bukanlah umat yang melarat. Berkah dari langit dan bumi senantiasa melimpahi mereka. Bahkan tiga unsur bumi mereka kuasai, yakni air, api, dan padang rumput. Ketiga unsur tersebut diambil manfaatnya untuk kemaslahatan bersama sehingga pelayanan kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya mereka dapatkan secara cuma-cuma. Satu hal yang paling penting: tidak ada sedikit pun campur tangan asing dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Umat muslim bukanlah umat yang urakan. Mereka orang-orang yang beradab yang tahu cara bersosial, menjaga lingkungan, dan cara menjaga kehormatan. Para muslimahnya berpakaian tertutup sesuai dengan syariat. Tak pernah sedikit pun terlintas dibenak mereka untuk menjajakan kecantikannya demi meraih pengakuan cantik atau mendapatkan sejumlah materi. Para lelaki muslimnya pun sopan dan senantiasa menundukkan pandangan. Sehingga kasus pelecehan seksual pun hampir tidak pernah ada. Semuanya hidup aman karena Islam dijadikan sebagai standar perbuatan bersama.
Jika dilihat sekilas, gambaran di atas tampak seperti sebuah cerita dari negeri dongeng. Bagaimana tidak, realita keadaan umat muslim sekarang sungguh berbanding terbalik: pendidikan yang mereka kenyam tidak merata, SDA mereka dirampas asing, pornografi dan porno aksi mengotori lingkungan mereka, angka kemiskinan dan penindasan semakin tak terbendungkan. Sebagian besar dari mereka kini tidak lebih dari kaum pesakitan yang tak lagi memiliki harga diri.
Bagaimanapun juga cerita tentang kegemilangan umat Islam bukanlah cerita fiksi. Semua benar-benar pernah terjadi ketika hukum Allah diterapkan secara menyeluruh di bawah naungan negara Khilafah selama 1300 tahun lamanya. Namun keadaan berubah 180 derajat ketika hukum Allah dihapuskan dari muka bumi 90 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 3 Maret 1924. Seorang pemuda Turki yang juga sebagai kaki tangan Inggris,
Kemal Pasha Attaturk, menghembuskan ide nasionalisme ke dalam pemikiran umat muslim. Semenjak itu umat muslim pun hilang arah dan terpecah belah. Kebanyakan dari mereka mengadopsi demokrasi dan membentuk negara bangsa (nation-state) yang berlandaskan hukum buatan mereka sendiri.
Ibarat serigala berbulu domba, demokrasi tampak baik dan menjanjikan dari luar padahal sangat buas dan mematikan jika diselisik lebih dalam. Di usia penerapannya yang baru seumur jagung, demokrasi tidak membuahkan apapun melainkan bencana dan kerusakan. Ini disebabkan karena ruh demokrasi itu sendiri bersifat sekuler atau dalam kata lain memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisasi ini lah cikal bakal dari segala kerusakan.
Adapun orang-orang sekuler (yang juga pragmatis) merasa bangga karena telah melanggar sebagian besar aturan Sang Pencipta. Mereka berpandangan bahwa aturan agama hanya berlaku di tempat ibadah saja.
Sekularisasi melahirkan pilar-pilar kebebasan yang membuat manusia khususnya umat muslim kebablasan. Pilar –pilar itu adalah kebebasan berpendapat, bertingkah laku, beragama, dan berkepemilikan.
Keempat hal tersebut lah yang bertanggung jawab atas banyaknya orang yang menghina Allah dan Rasul-Nya, merebaknya pergaulan bebas, munculnya aliran-aliran sesat, menjamurnya privatisasi sejumlah SDA milik umat dan segudang masalah lainnya. Maka dari itu pantaslah jika kemudian Allah murka dan menurunkan berbagai bencana sebagai peringatan.
Satu hal yang paling buruk tentang demokrasi adalah konsep kedaulatan di tangan rakyat. Degan sombongnya manusia membuat hukum, menyaingi posisi Allah sebagai Yang Maha Mengatur dan Maha Tahu. Ini sama saja dengan manusia mendeklarasikan perang terbuka dengan Allah. Padahal Allah telah memperingatkan dalam firman-Nya, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al-Maidah: 44)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” ( al-Maidah 5: 45)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”(al-Maaidah: 47)
Oleh karena itu cukuplah ketiga ayat tersebut menjadi pengingat bagi seluruh umat muslim untuk segera mencampakkan demokrasi, sistem yang berasal dari akal manusia yang identik dengan kekurangan dan keterbatasan. Sebagai umat muslim, selayaknya kita memperjuangkan kembali tegaknya sistem Islam di bawah naungan Khilafah, sebuah sistem yang diridai Allah dan mampu memuliakan umat. Tiada kemuliaan tanpa Islam, tiada Islam tanpa syariah, tiada syariah tanpa Khilafah.
Wallahu’alam bishawwab.
Oleh: Ana Aprilia, Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris 2012, ana.aprilia@activist.com
Related Post:
Category ›
Ilmu
No comments:
Post a Comment