Membaca novel perjalanan "99 Cahaya di Langit Eropa" karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra, seolah mengajak pembaca meniti lorong waktu ke masa silam saat Islam mengalami kejayaan di Eropa.
Masa keemasan Islam di Eropa yang saat ini hanya menjadi bahan cerita sejarah bukanlah fiksi, namun benar-benar ada, yang dibuktikan oleh peninggalan berupa bangunan dan ornamen-ornamen, yang kini sudah menjadi komoditi turisme.
Umat Islam di tanah air masih mengenang masa keemasan itu dan menjadikan sebagai spirit kehidupan. Hal itu terlihat dari penamaan lembaga-lembaga pendidikan hingga nama anak yang berbau nama Spanyol era keemasan Islam.
Sebutlah Andalusia Islamic Center (AIC) yang dinaungi Ustadz Muhammad Syafii Antonio. Ustadz yang dikenal sebagai pakar ekonomi syariah ini tak lain ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tazkia (STIE Tazkia).
AIC berada di sisi timur Tol Jagorawi atau tepatnya berada di kawasan Sentul City, di kawasan belakang kantor pemasaran Sentul City.
Andalusia merupakan semenanjung yang terdiri atas Spanyol, Portugal, Andorra, dan Giblartar. Semenanjung ini pernah dikuasai oleh penguasa muslim.
Kemudian Global Sevilla International School, yang salah satu pemiliknya adalah Omi Komaria Madjid, istri almarhum cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid.
Di masa pemerintahan Islam dahulu, Sevilla (Isybiliyyah) adalah salah satu kota utama peradaban, ilmu pengetahuan, dan pusat pemerintahan di Spanyol. Sevilla merupakan kota yang menyimpan sejarah kegemilangan peradaban Islam.
Tidak hanya itu nama-nama ilmuwan muslim asal Spanyol seperti Avicenna (Ibnu Sina), Averroes (Ibnu Rusyd) dan Al Farabi juga banyak dijadikan identitas lembaga-lembaga di tanah air.
Diharapkan dengan identitas-identitas tersebut mereka ingin mengulangi kembali era keemasan di masa lampau atau paling tidak menjadi spirit agar menjadi umat yang lebih maju peradabannya.
Islam memang menguasai Andalusia dalam kurun waktu yang relatif lama. Selama 781 tahun (711-1492 M) atau tujuh abad lebih, Islam berkuasa di negara gudangnya pemain sepak bola tersebut.
Selama diberi kesempatan tinggal di Wina, Austria, pasangan suami istri ini, Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra, bertekad menjelajah Eropa. Mereka menyebutnya sebagai pencarian 99 cahaya kesempurnaan yang pernah dipancarkan Islam di Eropa.
Mulailah mereka menyusuri peninggalan-peninggalan Islam di Vienna atau Wina (Austria), Paris (Perancis), Madrid, Cordoba, Granada (Spanyol) dan Istambul (Turki).
Wina menjadi tempat petualangan pertama pasangan ini karena di negara tempat kelahiran Adolf Hitler tersebut, suami Hanum, Rangga Almahendra, mendapat beasiswa doktoral di WU Vienna.
Wina merupakan tempat terakhir ekspansi Islam berhenti. Di kota ini terdapat pusat peribadatan umat Islam terbesar yakni Vienna Islamic Center.
Di negara ini `kita` mengetahui bahwa croissant merupakan roti buatan Austria. Roti berbentuk bulan sabit tersebut untuk merayakan kekalahan Turki di Wina.
Pasukan Islam ottoman Turki pernah menyerbu Wina di bawah pimpinan Kara Mustafa, yang kemudian diserbu balik dari Kahlenberg.
Kara dikenang warga Austria sebagai panglima perang yang menggempur Wina dan menyebabkan banyak kerusakan dan pembunuhan.
Perjalanan penulis ke Paris, Prancis, dipertemukan dengan Marion, bule berjilbab, yang mengambil studi Islam Abad Pertengahan di Universitas Sorbonne.
Marion mengajak penulis ke sebuah bangunan besar, pantheon. Bangunan ini dulu merupakan gereja dan sekarang berubah menjadi kuburan. (halaman 134).
Pantheon ini tempat mengubur sastrawan, filsuf dan ilmuwan seperti Victor Gugo, Voltaire, Marie Curie atau Louis Braille, penemu huruf braille.
Voltaire merupakan tokoh yang kontroversial. Dia pernah membuat fragmen drama berjudul "Le fanatisme, ou Mahomet le Prophete", yang artinya "Fanatisme atau Muhammad Sang Nabi".
Fragmen yang menggambarkan karakter Nabi Muhammad secara negatif itu ternyata hanya merupakan imajinasi Voltaire dan Voltaire sendiri kemudian mengaku kalau cerita tersebut tidak berdasarkan fakta sejarah.
Anehnya lagi, kira-kira 30 tahun setelah menulis fragmen drama tersebut, dia kembali menulis esai tentang Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi toleransi.
Kehadiran novel ini akan melengkapi referensi bagi siapa pun yang ingin bepergian ke Spanyol, untuk menelusuri jejak-jejak peninggalan Islam di negeri matador tersebut sehingga tidak datang dengan pengetahuan yang hampa.
Novel yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama ini juga menunjukkan fakta kalau pemaksaan agama tidak hanya dilakukan agama tertentu saja, tetapi tindakan yang melanggar HAM ini bisa dilakukan penguasa siapapun dan dari agama mana pun.
Demikian pula dengan istilah kafir yang selama ini identik dengan penyebutan orang muslim terhadap orang non muslim, ternyata dalam sejarah Spanyol juga digunakan untuk menyebutkan umat non-Kristen.
Mohammad Boabdil merupakan sultan terakhir di Granada yang takluk kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Sebelum menyerahkan kekuasaannya Boabdil membuat persetujuan dengan Isabella.
Boabdil bersedia diusir dan istana diserahkan, namun dia minta kepada Isabella agar masyarakatnya bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing baik Kristen, Islam dan Yahudi.
Sayang seribu sayang, dalam waktu sepuluh tahun setelah Granada takluk, Isabella dan Ferdinand memerintahkan pembaptisan massal kepada seluruh penduduk baik Islam maupun Yahudi (halaman 302).
Cerita itu disampaikan Luiz, tour guide yang memandu perjalanan rombongan turis Melayu asal Malaysia dan penulis novel ini.
Yang mengesankan dari novel ini adalah pertemanan penulis dengan Fatma Pasha. Fatma adalah teman Hanum di kelas Bahasa Jerman, sebuah kursus singkat yang diselenggarakan oleh pemerintah Austria di Wina.
Dia adalah teman baru penulis semenjak pertama kali datang di Wina pada Maret 2008. Di kelas kursus tersebut hanya penulis dan Fatma yang non bule, sedangkan sebagian besar murid di tempat tersebut adalah para pendatang dari Eropa Timur.
Fatma adalah imigran Turki berusia 29 tahun. Dia di Wina ikut suaminya. Kemudian dia kembali ke Turki.
Penulis kemudian dipertemukan lagi dengan Fatma di Istambul setelah dia membalas e-mail Hanum, setelah sebelumnya dia kehilangan jejak dengan sahabatnya yang pernah mukim di Wina tiga tahun tersebut. (halaman 320).
Dari Fatma pula mereka tahu kalau lagu klasik terkenal karya komponis besar Wolfgang Amadeus Mozart "Rondo Alla Turca" terinspirasi dari kedisiplinan para militer janisari Turki pada masa lalu.
Desainer fesyen muslim itu juga mampu menggerus Islamphobia dengan menjadi "agen muslim yang baik".
Salah satu pelanggan butik milik Fatma adalah korban teror bom di Sinagog, Istambul, Turki pada 2003. Kebahagiaan Fatma adalah saat dia mengambil jahitan berujar, "Aku tak tahu seorang muslim sepertimu bisa menciptakan pakaian selembut dan serapi ini".
Semoga karya terbitan April 2011 ini mampu menempatkan Islam dan Eropa dalam kerangka stigma "saling menguatkan", bukan "saling berhadapan" sebagaimana diharapkan intelektual muda, Anies Baswedan.
Related Post:
Category ›
Fakta
No comments:
Post a Comment