Mari Jaga Perasaan dan Hormati Umat Islam

Admin 14.4.13



DALAM artikelnya di Koran Tempo, 11 April 2013 kemarin, Victor Silaen mengecam umat Islam dan Menteri Agama RI. Victor begitu sinis kepada Suryadharma Ali. Tulisannya ini sebenarnya menfollow up berita di koran milik Kompas, The Jakarta Post yang 2 April lalu, yang ‘mengecam Suryadharma Ali’. The Jakarta Post membuat judul : “Minister: Christians Bring Discrimination on Themselves”.

The Jakarta Post menulis : “Religious Affairs Minister Suryadharma Ali blamed Christians for the closure of churches in the country, saying that they had politicized an issue that was purely administrative in nature. Suryadharma said that Christians in the country are not the only ones who had problems getting permits to build places of worship, but they got more attention simply because they talked to the press more.

The controversial minister said that Muslims in several regions where they are members of a minority, such as in Bali, North Sulawesi and East Nusa Tenggara, have met the same challenges when trying to get permits to build mosques.

“But they don’t talk to the press. They also don’t protest or perform prayers in front of the Presidential Palace. The requirement to obtain such a permit is only administrative, there is no need to turn it into a political issue,” Suryadharma said.

Menurut Dosen di Universitas Pelita Harapan ini : “Intinya, Menteri Agama Suryadharma menyalahkan umat Kristen dalam kaitan dengan penutupan, penyegelan dan pembongkaran gedung gereja yang terjadi belakangan ini. Menurut Suryadharma: “Mereka telah mempolitisasi masalah administratif masalah pembangunan gedung gereja. Orang Kristen bukan satu-satunya yang memiliki masalah dalam mendapatkan izin untuk membangun tempat ibadah, tetapi mereka mendapat perhatian karena mereka berbicara kepada media atau pers. Umat Islam di beberapa daerah, seperti di Bali, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur juga kesulitan untuk membangun masjid; tapi mereka tidak bicara kepada pers. Mereka juga tidak protes atau melakukan doa di depan istana presiden.” (Lihat Koran Tempo, 11 April 2013)

Setelah menyalahkan Menteri Agama atas pernyataannya itu, Victor di akhir tulisannya menyatakan: “Yang jelas, fakta berbicara bahwa praktek kekerasan dengan mengatasnamakan agama dalam beberapa tahun terakhir ini meningkat. Penyebabnya?

Pertama, adanya kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Kedua, absennya negara dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Inilah yang disebut kejahatan dengan melalui tindakan pembiaran (crime by omission), yang pelakunya adalah negara dan yang salah satu pemimpinnya adalah SDA.

Entah dari mana datanya –mungkin dari laporan sepihak Setara Institute- umat Islam Indonesia makin tidak toleran. Menteri Agama pernah menyatakan bahwa Indonesia tingkat toleransinya sangat tinggi. Suryadharman pernah meluncurkan data bahwa pertumbuhan gereja persentasenya jauh lebih besar dari masjid. "Data pembangunan rumah ibadah dari tahun 1977 sampai dengan 2004, pembangunan yang paling rendah itu masjid," kata Suryadharma. "Dari 392.044 menjadi 643.834 buah. Kenaikannya hanya 64,22 persen," kata Menag pada 21 September 2010.

Sementara pertambahan Gereja Kristen, kata Suryadharma, dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah atau naik 131,38 persen. Gereja Katolik dari 4.934 menjadi 12.473, naik 152,8 persen. Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 atau naik 475,25 persen. Wihara Buddha dari 1.523 menjadi 7.129, naik 368,09 persen.

Masalah GKI Yasmin

Masalah GKI Yasmin, yang banyak dimasalahkan dalam artikel Victor ini pernah ditanggapi Jusuf Kalla. Menurut Jusuf Kalla mestinya pihak gereja jangan mempermasalahkan satu gereja ini, mengekspos ke media massa dan memprovokasi agar dunia internasional ikut mengecam Indonesia. Karena sekitar 50 ribu gereja didirikan di Indonesia tidak masalah. Ia menganjurkan kaum Kristen harusnya mau direlokasi oleh Walikota setempat.

Kasus GKI Yasmin terus menerus menjadi sorotan pada umat Islam. Mereka hampir tiap dua minggu sekali mengadakan kebaktian di depan Istana Negara. Mereka menginginkan presiden SBY ikut campur dalam masalah ini. Tapi Walikota Bogor tetap bertahan kepada keputusannya mencabut secara permanen IMB GKI Yasmin dan menawarkan relokasi gereja itu, karena banyaknya protes masyarakat setempat. Di samping juga pihak Kristen pernah memalsukan tandatangan untuk izin pendirian gereja itu.

Seperti diketahui proses pembangunan GKI Yasmin kebarnya dimulai tahun 2000. Namun, pada tahun 2008, Kepala DinasTata Kota dan Pertamanan Bogor membekukan izin pembangunan gereja tersebut melalui surat Nomor 503/208-DTKP tertanggal 14 Februar 2008. Alasannya, ada keberatan dari forum ulama dan ormas Islam se-kota Bogor. Surat ini terbit sesudah surat izin dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto pada 13 Juli 2006. Karena keberatan, pihak GKI Yasmin menggugat surat pembekuan izin tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya, MA membatalkan pencabutan izin tersebut.

Pada tanggal 14 Maret 2011 GKI Yasmin menerima dua surat sekaligus dari pemerintah kota Bogor. Pertama, surat No. 503.45 - 135 tahun 2011 Tertanggal 8 Maret 2011 tentang Pencabutan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No. 503/208 - DTKP perihal Pembekuan Izin tanggal 14 Februari 2008 yang ditandatangani Diani Budiarto.

Karena menganggap putusan MA itu hanya memasalahkan prosedur, maka Diani segera mengeluarkan surat nomor 645.45 – 137 tahun 2011 Tertanggal 11 Maret 2011 tentang Pencabutan Keputusan Wali Kota Bogor No. 645.8 - 372 tahun 2006 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas nama GKI Yasmin Bogor yang terletak di Jl. KH. Abdullah Bin Nuh No.31 Taman Yasmin, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

Majalah Suara Hidayatullah pernah menulis bahwa Keputusan Mahkamah Agung No. 127 PK/PK/TUN/2009 yang menolak peninjauan kembali Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP) Kota Bogor soal surat keputusan pembekuan IMB GKI Yasmin menjadi amunisi bagi GKI. Kepada berbagai pihak di dalam negeri dan luar negeri, termasuk kepada media, mereka menafsirkan keputusan MA sebagai dukungan mutlak terhadap gereja.

Menurut salinan putusan PK MA yang ada pada redaksi Suara Hidayatullah, peninjauan kembali DTKP ditolak karena masalah teknis prosedural. Mahkamah Agung menilai DTKP bukanlah pejabat atau instansi yang berwenang menerbitkan surat pembekuan IMB. Pembekuan ataupun pembatalan IMB, menurut MA, seharusnya ditempuh lewat jalur pengadilan.

Istilah “pembekuan izin”, menurut MA juga tidak dikenal dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2009 tentang pedoman Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Atas pertimbangan-pertimbagan tersebut, MA menilai Pemkot Bogor (DTKP) telah melanggar hak asasi GKI dan memerintahkan DTKP mencabut surat pembekuan IMB gereja.

Walikota Bogor, Diani Budiarto menilai putusan PK MA karena masalah prosedur saja. “Kalau saja kita ulangi sesuai prosedur, maka persoalannya telah selesai,” katanya kepada wartawan. Diani pun sudah melaksanakan perintah MA mencabut surat pembekuan IMB pada 8 Maret 2011.

Masalahnya, tiga hari setelah surat pembekuan DTKP dicabut, Walikota mencabut IMB GKI secara permanen lewat surat no. 645.45-137 Tahun 2011 yang membatalkan keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 Tahun 2006 tentang IMB GKI Pengadilan Bogor yang terletak di Jalan KH Abdullah bin Nuh No. 31 Taman Yasmin.

Diani mengaku telah mencabut IMB GKI Yasmin karena tiga hal. “Pertama, resistensi masyarakat. Kedua, adanya pemalsuan tanda tangan persetujuan warga. Ketiga, stabilitas,” ujar Diani saat ditemui Suara Hidayatullah di Balaikota Bogor bulan Desember 2011.

Jurubicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging mengatakan, pihaknya baru menerima surat pencabutan pembekuan tertanggal 8 Maret 2011 dan surat pembatalan IMB tertanggal 11 Maret secara bersamaan pada Senin, 14 Maret. Katanya, antara tanggal 8 hingga tanggal 11 segel lahan bakal gereja tidak pernah dibuka. Maka, pada Ahad 13 Maret mereka masih melakukan misa di trotoar tanpa sadar IMB mereka telah “dicairkan”.

“Jadi, pencabutan pembekuan oleh Walikota hanya di atas kertas,” kata Bona yang ditemui Suara Hidayatullah di kantor Komnas HAM . Setelah itu, kata Bona, pihaknya meminta fatwa kepada MA perihal pencabutan permanen IMB mereka oleh Walikota Bogor. Pada 1 Juni 2011, GKI mendapat jawaban dari MA. Dalam keterangan persnya, GKI mengutip 2 poin yang mereka anggap penting dari 5 poin yang ditulis MA. Kedua poin itu menyebut putusan MA berkekuatan hukum tetap dan pihak yang dibebani esksekusi wajib melaksanakan putusan.

Namun, surat jawaban MA bernomor 45/Td.TUN/VI/2011 itu juga memuat poin yang menyarankan agar GKI menempuh jalur hukum jika merasa dirugikan oleh putusan Walikota. Pernyataan yang terdapat pada poin 5 itu berbunyi:

“Bahwa dalam hal saudara merasa dirugikan atas terbitnya Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.45-137 Tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011 Tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 Tahun 2006 Tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Atas Nama Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pengadilan Bogor yang terletak di Jalan KH. Abdullah bin Nuh No. 31 Taman Yasmin Kelurahan Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, maka secara hukum saudara dapat megajukan upaya hukum gugatan ke Pengadilan yang berwenang yurisdiksinya.”

Forum Komunikasi Muslim Indonesia (FORKAMI), wadah masyarakat Muslim Curug Mekar menilai, secara tidak langsung MA telah mengakui SK Walikota Bogor yang mencabut IMB GKI Yasmin lewat poin kelima dalam surat fatwa tersebut. Ahmad Iman, Ketua FORKAMI mempertanyakan sikap GKI yang tidak mau menempuh jalur hukum terhadap SK Walikota. “Padahal ketika IMB mereka dibekukan mereka menggugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara,-red),” kata Iman yang juga warga sektor VI Taman Yasmin.

Iman menduga, GKI tidak berani memperkarakan SK Walikota ke Pengadilan Negeri (PN) karena PN telah memvonis bersalah Munir Karta, mantan Ketua RT 7/RW 8, Curug Mekar, Bogor Barat karena terbukti telah memalsukan tanda tangan warganya untuk keperluan pengurusan IMB GKI Yasmin.

Mestinya umat Kristen/Katolik bersyukur kepada umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas di negeri ini, sehingga mereka tenang menjalankan ibadahnya dan banyak melakukan peran di negeri ini. Tindakan terlalu banyak menuntut akan semakin dipahami orang (khususnya kaum Muslim) sebagai tindakan ‘telah melakukan kezaliman’ kepada umat Islam Indonesia.

Beginilah contoh pendapat intelektual Kristen yang menutup fakta ‘pemanjaan agama lain di negeri ini’. Satu dua gerejanya diminta pindah lokasi saja protesnya bertahun-tahun. Bahkan bukan hanya protes, mereka juga terlihat sangat provokatif dengan ekspos media massa seolah, mereka sebagai fihak paling dizalimi di negeri ini. Lebih jauh, seolah mereka ingin mendapat perhatian dunia untuk menekan pemerintah.

Kita tidak bisa bayangkan seandainya umat Islam minoritas di negeri ini. Boleh jadi nasibnya memilukan di Asia Tenggara, seperti di Filipina atau Thailand. Bahkan mungkin seperti di Myanmar dengan mayoritas Budha.

Terakhir, tulisan ini untuk mengingatkan semua, khususnya media massa, untuk menghormati perasaan umat Islam agar tak melahirkan kemarahan di kemudian hari, sebagai akibat sekian lama diprovokasi dan ‘dizalimi’ opini berlebih-lebihan media massa. Wallahu aziizun hakim.

Related Post:

Blogger Template by BlogTusts Sticky Widget by Kang Is Published by GBT.

No comments:

Post a Comment