Suvenir berupa simbol-simbol keislaman diperjualbelikan di sekitar Masjid Qol Sharif, Kazan Kremlin, Tatarstan. Ada miniatur Masjid Qol Sharif, stiker, kaus, baju, sampai songkok ala muslim Tatar berwarna hijau dan biru. Warganya, dari anak-anak sampai orang tua, berpembawaan ramah dan selalu menyunggingkan senyum pada orang yang baru dikenalnya.
Mereka bukan Arab, bukan pula Asia. Mereka adalah suku bangsa Tatar, yang berkulit putih, berhidung mancung, berambut hitam sampai ke perak-perakan. Mereka beragama Islam, dan menghirup kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya.
Qol Sharif, masjid yang diresmikan pada 24 Juni 2005, menjadi masjid kebanggan umat Islam di Republik Tatarstan khususnya dan Rusia pada umumnya.
Buat mereka yang belum pernah menjelajah ke "negeri beruang merah", Rusia, dalam benak mungkin akan terpampang masyarakat penganut ateis tulen alias tidak bertuhan. Persepsi itu akan buyar ketika kita menginjakkan kaki ke kota Kazan, ibu kota Republik Tatarstan, satu dari 21 republik yang menjadi anggota Federasi Rusia.
Tatarstan, yang berpenduduk hampir 4 juta itu, 60% warga muslim, hampir 38% Kristen Ortodoks, dan sisanya Katolik serta aliran-aliran kepercayaan setempat.
Jejak Islam di Kazan bisa dirunut dari temuan para arkeolog Rusia yang berhasil menemukan masjid yang telah berusia 1.000 tahun di kawasan Kazan Kremlin (benteng Kazan), berupa bebatuan putih dan bangunannya menghadap ke arah Mekkah. Sampai saat ini para arkeolog masih bekerja meneliti lebih jauh tentang temuan tersebut.
Adapun agama Islam masuk ke wilayah Volga Bolgaria, nenek moyang bangsa Tatar, pada 922 Masehi. Komunitas Islam, di antaranya dari Turki, masuk ke wilayah ini melalui jalur laut dan Sungai Volga dengan membawa dagangan.
Seorang wanita melintas di depan sebuah mesjid di Kazan, ibukota Tatarsan (REUTERS/Roman Kruchinin)
Kazan ke Bolgaria bisa ditempuh dengan jalur darat, dengan jarak 200 kilometer. Di sini masih ditemukan jejak-jejak kuno berupa kuburan, katedral, dan benda-benda bernilai arkeologi tinggi yang menunjukkan adanya kehidupan Islami di abad ke-10.
Bahkan kini, museum di Bolgaria menyimpan Al-Quran terbesar di dunia buatan Italia tahun 2011. Al-Quran tersebut beratnya mencapai 800 kilogram, sebanyak 632 halaman, lebar 1,5 meter, panjang 2 meter, dan tebal 25 sentimeter.
Sampai abad ke-16, muslim di Tatarstan tumbuh dan berkembang. Tapi, ketika Kekaisaran Rusia menaklukkan daerah ini pada abad ke-16, ruang gerak religius komunitas Tatar mengalami pembatasan-pembatasan.
Qol Sharif adalah seorang ulama, imam masjid dan guru para santri. Dalam serangan yang terjadi pada 1552 itu, bersama para santrinya, ia ikut tewas.
Meski dihambat-hambat, laju perkembangan Islam tak bisa dibendung. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu akhirnya diapresiasi pemerintah yang berkuasa. Ini bermula dari adanya Dekrit Apolystic Syinod pada 1773.
Semua penduduk diberi kebebasan dalam menjalankan agamanya masing-masing. Masjid-masjid dan madrasah pun bertumbuh, seiring dengan bertambahnya keimanan dan keilmuan Islam yang menjalar ke semua anak negeri.
Umat muslim di sini memberikan sumbangan peradaban umat manusia, termasuk di dalamnya karya seni yang bernuansa Islami.
Dunia terus berputar silih berganti. Dalam perkembangannya, ketika Vladimir Lenin berhasil menguasai Uni Sovyet pada 1916, suasana berubah. Partai Komunis berkuasa, dan para pemeluk agama (baik Islam, Kristen Ortodoks, maupun Katolik) dipinggirkan. Bangunan masjid dan gereja banyak yang dirobohkan, dan tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Sejak Lenin berkuasa, 70 tahun lebih kaum agamawan mendapat tekanan dalam menjalankan ibadah, juga ketika hendak melaksanakan syariatnya. Karena itu, dalam menjalankan ibadah dan mentransformasikan pada keluarganya, kaum muslim melaksanakan secara diam-diam.
Seiring dengan perjalanan waktu, ketika semangat kebebasan tak lagi bisa dibendung, Uni Soviet pun runtuh. Jatuhnya Uni Soviet, pintu dan jendela kebebasan untuk menyatakan pendapat dan melaksanakan ajaran agama, terbuka.
Kehadiran Partai Rusia Bersatu yang dipimpin Vladimir Putin, dan menguasai 65% anggota parlemen, adalah pertanda bahwa komunis tak lagi laku. Partai Komunis hanya memperoleh 15% suara di parlemen, mayoritas kaum tua. Tidak sedikit kaum muda Rusia berkiblat ke Barat, dengan segala kebebasannya.
Di tengah menyeruaknya kebebasan itulah Islam kembali bangkit. Para orang tua kembali memakai songkok berwarna hijau dan biru, para muslimahnya mengenakan kerudung (dari yang minimalis sampai yang maksimalis). Maka, masjid-masjid pun dibangun, juga gereja-gereja. Di Kazan Kremlin, misalnya, selain ada istana kepresidenan juga ada Masjid Qol Sharif dan sebuah katedral.
Kebebasan memang telah dibuka sejak 22 tahun lalu. Universitas Islam Rusia dibangun di Kazan, madrasah-madrasah juga mulai tumbuh. Presiden dan aparat bawahannya mayoritas muslim. Lalu, apa lagi yang tersisa? Nama-nama Islam rasa Rusia jamak kita temukan.
Presiden Tatarstan, Rustam Minnikhanov, dan staf di Kementerian Pemuda, Olahraga, dan Turisme, Khasanov Aydar, adalah contoh dari nama-nama muslim dengan rasa Rusia tersebut. Yang barangkali kurang terlihat adalah masjid-masjid di Tatarstan belum sepenuhnya difungsikan.
Masjid Qol Sharif, misalnya, sebagai masjid kebanggan warga Kazan, hanya dipakai untuk pelaksanaan salat Jumat dan salat Asar berjamaah di hari Jumat.
''Selebihnya sebagai tempat wisata,'' tutur Arthur, keturunan Turki, yang menjadi pengurus di masjid ini. Lantai satu untuk wisata, siapa pun bisa masuk dengan membungkus sepatunya dan dimasukkan ke kantong plastik yang telah disediakan.
Lantai II dipakai sebagai tempat salat, dan tentu saja, alas kaki mesti dilepas.
dua orang wanita Kazan sedang beristirahat di Kazan(REUTERS/Roman Kruchinin)
Padahal, merujuk kepada Al-Quran surah At-Taubah ayat 18, ''Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah mereka yang beriman, percaya pada hari akhir, mendirikan salat, mengeluarkan zakat.''
Para mufasir, baik klasik maupun modern, selalu memberikan tafsiran bahwa selain dipakai untuk aktivitas belajar, aktivitas sosial keagamaan, masjid juga aktif dipakai untuk salat berjamaah, lima waktu sehari.
Khasanov Aydar, misalnya. Dia berasal dari keluarga muslim. Baik dari jalur ibu maupun dari jalur ayahnya. Dia bersama saudara-saudaranya juga muslim. Ketika kecil, dia juga disunat sebagai umumnya anak-anak muslim. Pada bulan Ramadan dia berpuasa. Hari Jumat, ia salat Jumat di masjid, tapi selebihnya, ya, kadang-kadang saja. Itu pun dilaksanakan ketika berada di rumah, bukan di masjid.
Di sinilah titik lemah yang belum terlihat di Kazan, juga di kota-kota lain di Tatarstan. Pemandangan serupa juga terlihat di Moskow. Mereka, kaum muslim di Tatarstan itu, memang sudah beriman, dan juga mengilmui Islam. Tinggal pengamalannya yang belum optimal. Rupanya, dibutuhkan waktu satu generasi untuk menghidupkan kembali Nur Islam di bumi beruang merah ini.
***
Belajar Kompak dari Rusia
Pada 26 Desember 1991, Uni Soviet bubar. Ini ditandai dengan Majelis Agung Uni Sovyet membubarkan dirinya. Kekuasaan komunis pun runtuh. Bubarnya Uni Soviet membuat kekacauan di beberapa wilayah dan negara bagian. Upaya-upaya untuk bersatu pun diikhtiarkan, di antaranya dengan disusunnya undang-undang tentang federasi.
Dari 1991 sampai 1993, disusunlah undang-undang federasi yang baru. ''Untuk daerah-daerah khusus, seperti Chechnya dan Tatarstan, perlu pendekatan khusus,'' tutur Prof. Sergey M. Shakray, seorang arsitek pembuat undang-undang federasi, kepada GATRA.
Chechnya adalah republik dengan penduduk 90% muslim, sedangkan Tatarstan adalah republik dengan penduduk muslim 60%. ''Kami butuh waktu tiga tahun untuk meyakinkan kedua negara tersebut,'' Sergey memaparkan.
Negosiasi terus dilakukan, tawar-menawar yang tiada mengenal lelah diupayakan. ''Akhirnya, mereka menerima keberadaannya sebagai bagian dari Federasi Rusia,'' ujar Sergey.
Rusia kini menjadi 83 federal yang terdiri dari 46 provinsi, 21 republik, dan 16 wilayah otonom, dengan dua kota federal, yaitu Moskow dan St. Petersburg.
Perjalanannya memang tidak semulus yang dibayangkan. Selama 10 tahun pertama, 1991 sampai 2001, Rusia yang total berpenduduk 140 juta jiwa itu selalu mengalami gejolak-gejolak dan instabilitas.
Keadaan mulai terkendali setelah Vladimir Putin, dengan Partai Rusia Bersatu, menang di parlemen dan dirinya menjadi orang nomor satu di Rusia. ''Dialah orang kuat yang bisa menyatukan Rusia,'' tutur Djauhari Oratmangun, Duta Besar Indonesia untuk Rusia, kepada GATRA.
Partai Rusia Bersatu kini di Parlemen mendapat 65% kursi, Partai Komunis dengan 15%, dan sisanya, diperebutkan oleh partai-partai kecil.
Dengan kemenangan Partai Rusia Bersatu, menurut Djauhari, masyarakat Rusia sudah mulai sadar bahwa bersatu itu lebih menguntungkan bagi kebersamaan. ''Dengan bersatu mereka kini lebih kuat, dan lebih diperhitungkan sebagai negara besar,'' tuturnya.
Dan yang menarik, di era kini, kehidupan keagamaan mendapat tempat yang seluas-luasnya. ''Islam dan kristen tumbuh di sini,'' tutur Djauhari. Masyarakat Rusia, menurut Djauhari, sudah merasakan pahit getirnya ketika mereka tercabik-cabik.
''Mereka sudah lelah bertikai, dan akhirnya memlih untuk bersatu, dan menjadi negara besar kembali,'' ia menjelaskan.
Bagi bangsa Indonesia, pengalaman Rusia tampaknya bisa dijadikan sebagai landasan untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia dan Rusia punya kesamaan: multi-etnis dan multi-agama.
Dari 1991 sampai 1993, disusunlah undang-undang federasi yang baru. ''Untuk daerah-daerah khusus, seperti Chechnya dan Tatarstan, perlu pendekatan khusus,'' tutur Prof. Sergey M. Shakray, seorang arsitek pembuat undang-undang federasi, kepada GATRA.
Chechnya adalah republik dengan penduduk 90% muslim, sedangkan Tatarstan adalah republik dengan penduduk muslim 60%. ''Kami butuh waktu tiga tahun untuk meyakinkan kedua negara tersebut,'' Sergey memaparkan.
Negosiasi terus dilakukan, tawar-menawar yang tiada mengenal lelah diupayakan. ''Akhirnya, mereka menerima keberadaannya sebagai bagian dari Federasi Rusia,'' ujar Sergey.
Rusia kini menjadi 83 federal yang terdiri dari 46 provinsi, 21 republik, dan 16 wilayah otonom, dengan dua kota federal, yaitu Moskow dan St. Petersburg.
Perjalanannya memang tidak semulus yang dibayangkan. Selama 10 tahun pertama, 1991 sampai 2001, Rusia yang total berpenduduk 140 juta jiwa itu selalu mengalami gejolak-gejolak dan instabilitas.
Keadaan mulai terkendali setelah Vladimir Putin, dengan Partai Rusia Bersatu, menang di parlemen dan dirinya menjadi orang nomor satu di Rusia. ''Dialah orang kuat yang bisa menyatukan Rusia,'' tutur Djauhari Oratmangun, Duta Besar Indonesia untuk Rusia, kepada GATRA.
Partai Rusia Bersatu kini di Parlemen mendapat 65% kursi, Partai Komunis dengan 15%, dan sisanya, diperebutkan oleh partai-partai kecil.
Dengan kemenangan Partai Rusia Bersatu, menurut Djauhari, masyarakat Rusia sudah mulai sadar bahwa bersatu itu lebih menguntungkan bagi kebersamaan. ''Dengan bersatu mereka kini lebih kuat, dan lebih diperhitungkan sebagai negara besar,'' tuturnya.
Dan yang menarik, di era kini, kehidupan keagamaan mendapat tempat yang seluas-luasnya. ''Islam dan kristen tumbuh di sini,'' tutur Djauhari. Masyarakat Rusia, menurut Djauhari, sudah merasakan pahit getirnya ketika mereka tercabik-cabik.
''Mereka sudah lelah bertikai, dan akhirnya memlih untuk bersatu, dan menjadi negara besar kembali,'' ia menjelaskan.
Bagi bangsa Indonesia, pengalaman Rusia tampaknya bisa dijadikan sebagai landasan untuk tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia dan Rusia punya kesamaan: multi-etnis dan multi-agama.
Related Post:
Category ›
Islam Dunia
No comments:
Post a Comment