GENERASI sahabat adalah generasi terbaik di muka bumi setelah para nabi dan rasul. Allah telah memuji mereka, meridhai dan menyediakan surga untuk mereka. Bahkan menjadikan jalan hidup mereka sebagai petunjuk kebenaran yang harus diikuti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ُميِظَعْلا ُزْوَفْلا َكِلَذاًدَبَأاَهيِف َنيِدِلاَخ ُراَهْنَأْلااَهَتْحَت يِرْجَت ٍتاَّنَج ْمُهَل َّدَعَأَو ُهْنَعاوُضَرَو ْمُهْنَع ُهَّللا َيِضَر ٍناَسْحِإِب ْمُهوُعَبَّتاَنيِذَّلاَو ِراَصْنَأْلاَو َنيِرِجاَهُمْلا َنِمَنوُلَّوَأْلاَنوُقِباَّسلاَو
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. Al-Taubah: 100) اًريِصَم ْتَءاَسَو َمَّنَهَج ِهِلْصُنَو ىَّلَوَت اَم ِهِّلَوُن َنيِنِمْؤُمْلا ِليِبَسَرْيَغْعِبَّتَيَو ىَدُهْلا ُهَل َنَّيَبَتاَم ِدْعَب ْنِم َلوُسَّرلا ِقِقاَشُي ْنَمَو
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisa’: 115) اْوَدَتْها ِدَقَف ِهِبْمُتْنَمآاَم ِلْثِمِباوُنَمآ ْنِإَف
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 137)
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: “. .maka siapa yang menyalahi para sahabat Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam salah satu persoalan agama maka ia telah kufur.” Hal ini karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menerangkan sunnah kpd umatnya dan menjelasnya dengan rinci kepada para sahabatnya, merekalah yang disebut al-Jama’ah.
Maka perhatikan, setiap orang (khususnya) sezaman denganmu yang engkau dengar perkataanya jangan buru-buru menerimanya sehingga engkau tanya dan lihat: apakah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau salah seorang ulama mengatakannya? Jika engkau temukan satu atsar tentangnya dari mereka maka peganglah, jangan berpaling dan memilih yang lain. Jika tidak demikian, pasti engkau terjerumus ke neraka. (Disarikan dari Syarhus Sunnah, point no.
Oleh sebab itu penting sekali kita membaca perjalan hidup mereka agar kita bisa mengetahui generasi marhumah (dirahmati). Sehingga kita bisa meniru sifat-sifat mulia mereka, meniti jalan hidup yang lurus, dan mewarisi keistiqamahan diatas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
. . . setiap sahabat –alim atau awamnya, senior atau juniornya, laki-laki atau wanitanya, pedagang atau pekerjanya- semuanya cinta kepada jihad dan gugur di jalan Allah sebagai syuhada’. . .
Salah satu sifat mulia dan menonjol yang dimiliki generasi sahabat Nabi adalah kecintaan mereka kepada jihad dan syahid di jalan Allah.
Jika kita perhatikan perjalanan kehidupan sahabat, setiap sahabat –alim atau awamnya, senior atau juniornya, laki-laki atau wanitanya, pedagang atau pekerjanya- semuanya cinta kepada jihad dan gugur di jalan Allah sebagai syuhada’. Kenapa bisa demikian? Karena guru dan teladan mereka –Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam- senang dengan jihad dan berharap mati syahid. Ini dapat kita temukan pada jawaban beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atas pertanyaan beberapa shahabatnya, “Amal apa yang paling utama?” kemudian beliau menyebutkan di dalamnya, “jihad fi sabilillah.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: ِهَّللا ِليِبَس يِف ٌداَهِجَلاَق اَذاَم َّمُثَليِق ِهِلوُسَرَو ِهَّللاِب ٌناَميِإ َلاَق ُلَضْفَأ ِلاَمْعَأْلا ُّيَأ َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ُّيِبَّنلا َلِئُس
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah”.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Aku bertanya, ِهِليِبَس ىِف ُداَهِجْلاَو ِهَّللاِب ُناَميِإلا :َلاَق ُلَضْفَأ ِلاَمْعَألا ُّىَأ ِهَّللاَلوُسَراَي
“Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama? Beliau menjawab: Beriman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” beliau menjawab, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.”
Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya.” Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ىَلاَعَت ِهَّللا ِليِبَس يِف ُدِهاَجُمْلا َعِجْرَي ىَّتَح ٍةاَلَصاَلَو ٍماَيِص ْنِم ُرُتْفَي اَل ِهَّللا ِتاَيآِب ِتِناَقْلا ِمِئاَقْلا ِمِئاَّصلا ِلَثَمَك ِهَّللا ِليِبَس يِف ِدِهاَجُمْلا ُلَثَم
“Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang.” (Muttafaq ‘Alaih)
Bukti lain kecintaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada jihad dan mati syahid adalah angan-angan beliau agar beliau bisa berperang lalu terbunuh di dalamnya, kemudian dihidupkan kembali supaya bisa berperang di jalan Allah dan gugur di dalamnya. ُلَتْقُأَف وُزْغَأَّمُث ُلَتْقُأَف وُزْغَأ َّمُث ُلَتْقُأَف ِهَّللا ِليِبَس ىِف وُزْغَأ ىِّنَأ ُتْدِدَوَل ِهِدَيِب ٍدَّمَحُم ُسْفَن ىِذَّلاَو
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh aku senang berperang di jalan Allah lalu terbunuh. Kemudian aku berperang lalu terbunuh. Kemudian aku berperang lalu terbunuh.” (Muttafaq ‘Alaih, lafadz milik Imam Muslim. Dalam redaksi lainnya, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh aku senang terbunuh di jalan Allah lalu dihidupkan.”)
Sehingga kita saksikan, para sahabat –dengan perbedaan tingkatan mereka-berlomba-lomba untuk bisa berjihad dan gugur di dalamnya sebagai syuhada’. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Ya Rasulullah, di manakah tempatku jika aku terbunuh?” Beliau menjawab, “Di surga.” Kemudian ia lempar beberapa butir kurma di tangannya, lalu berperang dan gugur. (HR. Muslim)
. . . para sahabat –dengan perbedaan tingkatan mereka- berlomba-lomba untuk bisa berjihad dan gugur di dalamnya sebagai syuhada’. . .
Bahkan kita lihat, jika mereka tertinggal dari berjihad maka mereka menangis sedih. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Abdullah bin Umar saat tidak dibolehkan ikut dalam perang Badar dan Uhud karena usianya yang belum genap 15 tahun.
Al-Qur’an juga mengabadikan kisah mereka-mereka yang terhalangi dari ikut berjihad, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. Al-Taubah: 92)
Ini berbeda jauh dengan kita, jika tidak bisa berjihad (karena belum ada kesempatan), karena ada udzur syar’i, atau bertemu dengan fatwa yang meringankan dari pergi berjihad maka kita senang dan bergembira karenanya. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan dengan keras kepada siapa yang belum pernah berjihad dan tidak pernah meniatkan diri untuk berjihad.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ٍقاَفِنْنِم ٍةَبْعُش ىَلَع َتاَم ُهَسْفَن ِهِبْثِّدَحُي ْمَلَو ُزْغَي ْمَلَو َتاَمْنَم
“Siapa yang meninggal sementara ia tidak pernah berperang (berjihad) dan tidak pernah meniatkan untuknya, maka ia mati di atas cabang kenifakan.” (HR. Muslim) Maksudnya, ia belum pernah berjihad dan belum pernah berkeinginan serta meniatkan diri untuk berjihad jika ia memiliki kesempatan itu datang kepadanya.
Al-Hakim telah meriwayatkan dalam Mustadraknya (no. 2421) dari hadits Basyir bin al-Khashashiyyah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk berbai’at masuk Islam. Maka beliau mensyaratkan kepadaku: ِهللا ِلْيِبَس يِف ُدِهاَجُتَوَتْيَبْلا َّجُحَتَو َةاَكَّزلا يِّدَؤُتَو َناَضَمَر ُمْوُصَتَو ،َسْمَخْلا يِّلَصُتَو ُهُلْوُسَرَو ُهُدْبَعاًدَّمَحُم َّنَأَو ُهللااَّلِإَهَلِإ اَّل ْنَأ ُدَهْشَت
“Engkau bersaksi tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.”
Dia melanjutkan, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; Yaitu zakat karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Sedangkan jihad, orang-orang yakin bahwa yang lari (ketika perang) maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggenggam tangannya lalu menggerak-gerakkannya. Lalu bersabda, ؟ َةَّنَجْلا ُلُخْدَتَمِبَف َداَهِج اَلَوَةَقَدَصاَل
“Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?”
Basyir berkata, “Lalu aku berkata kepada Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-, aku berbaiat kepadamu, maka baitlah aku atas semua itu.” (Imam al-Hakim berkata: Hadits shahih. Al-Dzahabi menyepakatinya)
. . . Maka siapa yang mengikuti para sahabat (salafi) maka ia haruslah cinta kepada jihad, ikut berjihad, dan berharap kesyahidan. . .
Penutup
Inilah kehidupan para sahabat Nabi ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Mereka –baik dari kalangan ‘alim, faqih, muhaddits, dan selainnya- sangat senang dan cinta kepada jihad dan ikut serta di dalamnya. Sementara yang tidak bisa ikut, ia menangis. Tidak ada di antara mereka yang mencukupkan diri pada menuntut ilmu, menghafal Al-Qur’an, larut dalam ibadah shalat, puasa dan selainnya; lalu meninggalkan jihad fi sabilillah. Semuanya menjadi tentara-tentara Allah, mujahidin, dan perindu kesyahidan. Maka siapa yang mengikuti para sahabat (salafi) maka ia haruslah cinta kepada jihad, ikut berjihad, dan berharap kesyahidan.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Related Post:
Category ›
Dakwah
No comments:
Post a Comment