Aidzullah bin Abddullah bercerita bahwa pada awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berada dalam suatu majelis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih, masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam halaqah tersebut ia dapati seorang anak muda yang tampan, kulitnya hitam manis, dan baik tutur katanya. Usianya paling muda diantara yang lainnya.
Jika mereka mendapati keraguan terhadap suatu hadits, mereka menanyakannya kepada anak muda itu dan ia segera memberikan fatwanya. Dan ia tidak berbicara kecuali bila diminta.
Dan ketika majelis itu berakhir, Aidzullah menanyakan siapa namanya. Dan ia menjawab, “Saya adalah Mu’adz bin Jabal.”
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut bai’at (sumpah setia) pada Bai’atul Aqabah kedua, dengan demikian ia termasuk as-saabiquunal awwaluun (golongan yang pertama masuk Islam).
Keistimewaan “Sang Guru Muda”
Keistimewaan yang menonjol dari diri Mu’adz adalah dalam hal fiqih, hal ini mendapat pujian dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam sabdanya, “Umatku yang paling tahu tentang yang halal dan haram ialah Mu’adz bin jabal.”
Dalam menghukumi sesuatu Mu’adz berpedoman kepada kitabulah, jika ia tidak menjumpainya dalam kitabullah, ia berpedoman pada sunnah Rasul, jika ia tidak menemuinya dalam sunnah Rasul, maka ia menggunakan akal pikirannya untuk berijtihad, dan ia tidak akan berlaku semaunya.
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Mu’adz memiliki otak yang terlatih dan logika yang menawan. Ia seorang yang pendiam dan tidak berbicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan kedudukannya yang tinggi dalam bidang pengetahuan mendapat penghormatan kaum muslimin, baik selagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih hidup, maupun setelah beliau wafat.
Mu’adz adalah seorang yang murah tangan, berhati lapang dan berbudi tinggi. Jika ada yang meminta sesuatu kepadanya, maka ia akan memberinya dalam jumlah yang banyak dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan hatinya telah menguras hartanya.
Dimasa pemerintahan Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, Mu’adz berada di Yaman. Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka Umar mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar kekayaan Mu’adz dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar pergi ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut.
Mu’adz adalah seorang yang bersih tangan dan berhati suci. Seandainya ia telah menjadi seorang yang kaya raya maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, dan tidak pernah diperolehnya melalui jalan dosa, bahkan ia pun tak hendak menerima barang yang syubhat (meragukan). Oleh sebab itu, usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkan. Maka Umar pun berpaling dan meninggalkannya.
Pada keesokan harinya, Mu’adz segera pergi ke rumah Umar. Ketika sampai disana, Umar dirangkul dan dipeluknya, sementara air mata mengalir mendahului perkataannya seraya berkata, “Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah Anda datang dan menyelamatkan saya, wahai Umar!”
Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Khalifah Abu Bakar, dan Mu’adz meminta kepada Khalifah untuk mengambil seperdua hartanya.
“Tidak ada sesuatu pun yang akan saya ambil darimu,” kata Abu Bakar.
“Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik,” kata Umar kepada Mu’adz.
Detik-detik Sakratul Maut
Mu’adz pindah ke Syiria, tempat ia tinggal bersama penduduk dan orang yang berkunjung kesana. Ia bertindak sebagai guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah (gubernur militer di sana pada waktu itu) yang merupakan sahabat karib Mu’adz meninggal dunia, maka Mu’adz diangkat oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syiria. Tetapi ia hanya beberapa bulan saja memegang jabatan itu, karena ia dipanggil Allah Subhana Wa Ta’ala untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri. Dan ia wafat pada usia 33 tahun.
Dan pada saat-saat sakratul maut, Mu’adz mengucapkan perkataan yang menunjukkan bahwa dirinya seorang mukmin besar. Matanya menatap ke arah langit dan bermunajat kepada Allah:
“Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus dikala panas dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan, dan ketaatan.”
Mu’adz lalu mengulurkan tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam ghaib ia sempat mengatakan, “Selamat datang, wahai Maut, kekasih tiba di saat diperlukan.”
Dan nyawa Mu’adz pun melayang menghadap Allah. Kita semuanya kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita kembali.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Pelajari al-Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abu-Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab dan Muadz bin Jabal.“ (mina).
Related Post:
Category ›
Dakwah
No comments:
Post a Comment