Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat. Sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.
Al-Ghazali hidup di masa dinasti Saljuq. Pada masa ini sebenarnya tidak hanya terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga bidang sosial keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam bebrapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme golongan kepada umat.
Tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa cenderung untuk berusaha menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala upaya, bahkan dengan cara kekarasan. Seperti yang dilakukan oleh Al-Kunduri, wazir dinasti Dinasti Saljuq pertama yang ebraliran mu’tazilah, sehingga mazhab dan aliran lainnya jadi tertekan, serta meminta banyak korban.
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa Al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya berbagai pengaruh kultural non-islami masuk ke dalam pemikiran Islam. Di antara unsur kultural yang paling berpengaruh adalah filsafat, baik filsafat Yunani, maupun filsafat India dan Persia.
Filsafat Yunani banyak diserap oleh para theology, filsafat india di adaptasi oleh kaum sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep imamah. Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam propaganda pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baik yang menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajari filsafat lebih dahulu.
Sosok al-Ghazali memiliki keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali banyak sekali meninggalkan warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak memberikan kontribusi positif bagi pemikiran umat Islam seperti Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan al-‘Amal.
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi dan terobosan yang ia lakukan.
Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus. Kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
Tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hen dak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun.
Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.
Related Post:
Tokoh
- Risty Tagor - Stuart Collin Bangun Rumah Tangga Bernafaskan Islam
- Jadi Petinju, Muslim Australia Ini Jadi Panutan
- Muballig Pertama di Kota Madinah, Mus’ab bin Umair
- Arti Nama Beberapa Nabi Dan Rasul
- Kisah Salahuddin Al-Ayyubi Yang Tidak Banyak Diketahui Orang
- Penjara Menjadikan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam Berkuasa 55 Tahun
- Keberadaan Manusia Terbang di Negeri Yaman
- Ketika Umar bin Khattab Diomeli Istrinya
- Inilah 11 Nasehat Ali bin Abu Thalib
- Shuhaib Ar-Rumi, Sang Pemanah Ulung Berdarah Biru
- Laksamana Muslim Legendaris Korban Propaganda Barat, Barbarossa
- Syiah Dimata Ibnu Bathuthah
- Wong Fei Hung; Ulama, Ahli Pengobatan dan Pendekar Islam
- Rendra Masuk Islam Karena Merasa Allah Lebih Dekat daripada Urat Nadi
- Ternyata Samson Adalah Seorang Nabi
- Tempat Turunnya Nabi Isa dan 7 Ciri Kedatangannya Di Hari Kiamat Nanti
- 10 November 1945, Bung Tomo Teriakkan ‘Allahu Akbar!’
- Enam Tokoh Islam yang Terbunuh
- Lima Tokoh Ilmuwan Muslim yang Paling Berpengaruh di Dunia
- Abdullah Bin Saba, Pendiri Syiah, Ternyata Seorang Yahudi
- 22 Prediksi Ali bin Abi Thalib Yang Ditakutkan Terjadi
- Cara Shalat Ahmadinejad Yang Aneh
- Artis China Bergabung dengan Mujahidin Suriah
- Produser Film Fitna Dirikan Partai Islam Pertama di Eropa
Category ›
Tokoh
No comments:
Post a Comment