SEPERTI telah kita ketahui bahwa Mut’ah adalah suatu perkawinan yang mempunyai syarat-syarat tertentu, tetapi hanya berlangsung dalam waktu sementara, sesuai dengan persetujuan dalam kontrak, apakah satu jam, sehari, sebulan atau selama setahun, masing-masing mempunyai tarif tersendiri berapa harus dibayar. Kawin Mut’ah ini pernah diperbolehkan oleh Rasulullah dalam suatu pertempuran mengingat keadaan psikologis tentara, kemudian dilarang dan akhirnya diharamkan menurut Ahlus Sunnah. Tetapi orang Syi’ah tidak mengakui bahwa Rasulullah telah melarangnya. Mereka mengatakan diperbolehkan berlangsung terus.
Dan oleh karena Umar r.a. melarang sangat keras perkawinan mut’ah, maka orang Syi’ah memperbolehkannya dengan tegas pula, bahkan mereka memberikan dorongan dan dukungan disertai pemberian berbagai masalah kepada barangsiapa yang melakukannya, padahal perkawinan biasa seperti yang kita kenal tidak mendapat dorongan. Hal ini aneh sekali, mengapa kawin mut’ah yang mendapat pahala besar?
Maulana Manzur An-’Nu’mani mengutip dari tafsir induk “Minhajus Shadiqin” berdasarkan riwayat mereka dari Rasulullah saw., dikatakan bahwa Rasuluilah bmengatakan ”Barangsiapa menjalani kawin mut ‘ah satu kali dia akan mendapatkan tingkat Al-Hasan, barangsiapa yang menjalani kawin mut’ah dua kali, maka dia akan mendapat tingkat Al-Husein, barangsiapa menjalani kawin mut’ah tiga kali, maka dia akan mendapat tingkat Amirul Mukminin Ali, dan barangsiapa yang menjalani kawin mut’ah empat kali, maka dia akan mendapat derajatku.”
Apakah kita menilai bahwa pahala suatu kerja keras sama dengan pahala pekerjaan yang mengecap kelezatan dan kenikmatan? Sungguh aneh!
Maulana Manzur mengatakan dalam kitabnya halaman 218 bahwasanya seorang ulama besar Syi’ah Baqir Majlisi mujtahid besar Syi’ah pada abad 10 dan 11 Masehi mempunyai banyak karangan, kitab-kitabnya dianjurkan oleh Khomaini supaya dibaca dan dimanfaatkan, antara lain kitab Kasyful Asrar.
Pengarang besar Syiah tersebut menulis suatu makalah mengenai kawin mut’ah yang ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dengan judul “Ujalah Hasanah” (= Keterburuan yang bagus). Makalah ini telah diterbitkan oleh ulama besar Syi’ah sejak 70 tahun yang lalu, kemudian dicetak ulang di Lahore. Dalam makalah tersebut dikutip hadits-hadits Rasulullah tentang mut’ah, antara lain seperti telah kita jelaskan di atas.
Yang mulia Salman Al-Farisi dan yang Mulia Miqdad bin Al-Aswad Al-Kindi dan Amr bin Yasir r.a. menceritakan sebuah hadits sahih bahwa terakhir Nabi mengatakan: “Sesungguhnya orang yang melakukan kawin mut’ah sekali dalam hidupnya adalah termasuk ahli surga. Ketika dia duduk dengan perempuan itu, turunlah malaikat dari langit untuk melindunginya sampai keduanya berpisah obrolan antara keduanya (laki-laki dan perempuan) kedudukannya sama dengan tasbih (membaca subhanallah ), ketika tengah berpegang, maka jari jemarinya dibebaskan dari dosa, ketika berciuman Allah menghibahkan setiap kecupan dengan pahala haji dan Umrah, dan ketika bersenggama Allah memberikan untuk setiap denyut kelezatan dan birahii pahala sebesar gunung, ketika ejakulasi (keluar mani) dan lalu mandi dengan syarat beriman, bahwa Allah itu benar dan bahwa mut’ah itu sunnah Rasul, maka Allah akan berbicara kepada malaikat-malaikat: “Lihatlah kepada hambaku ini, dia telah melaksanakan mandi dan mengakui Aku sebagai Tuhannya, saksikanlah bahwa Aku telah mengampuninya dari segala dosanya, nanti Aku akan menghibahkan pahala sebanyak hitungan rambut di badannya, kumaafkan dia dari puluhan dosa dan Ku angkat dia puluhan derajat.”
Para perawi hadits tersebut di atas mengatakan bahwa Ali r.a. mendengar keistimewaan-keistimewaan kawin mut’ah, lalu katanya:. “Apakah pahala orang yang melakukan perbuatan baik itu?” Lalu Rasulullah menjawab: “Ketika selesai (bersetubuh) lalu mandi, Allah menciptakan setiap tetes yang jatuh dari tubuhnya menjadi malaikat yang terus menerus bertasbih dan mensucikan Allah, lalu dia mendapat pahalanya, pahala tasbih yang dilakukan para malaikat itu.”
Kemudian ulama besar Baqir Majlisi menyebutkan hadits lain, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengawini perempuan secara mut’ah, maka dia seolah-olah menziarahi ka’bah tujuh puluh kali.”
Selanjutnya dia menyebutkan hadits-hadits lain mengenai keistimewaan kawin Mut’ah. Sampai ada suatu hadits yang aneh sekali di mana disebutkan: “Barangsiapa melakukan perbuatan baik ini (kawin mut’ah) maka Allah akan mengangkatnya ke darajat yang paling tinggi, lalu akan dapat menyeberangi jembatan (siratol mustaqim) dengan cepat sekali seperti kilat dan akan diiringi oleh 70 barisan malaikat” dan seterusnya.
Betapa mudahnya mendapatkan pahala tersebut, betapa enak dan betapa lezatnya untuk melakukannya, dengan mendapatkan pahala yang lebih tinggi dari ibadah shalat, puasa dan haji, lebih tinggi dari jihad dan zakat dan seterusnya . . . . Demi kawin mut’ah itulah oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan sekalipun hanya satu jam atau hanya satu kali mendapatkan pahala yang besar. Betapa murahnya dan betapa gampangnya amal itu dilakukan untuk mendapatkan pahala yang begitu besar, yaitu hanya sekedar kontrak yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dibayar atas dasar persetujuan sekalipun hanya satu jam.
Kemudian perempuan itu dibawa masuk ke dalam kamar untuk mendapatkan pahala yang maha besar seperti diterangkan hadits yang lalu yang diriwayatkan tiga orang sahabat yang paling dipercaya di antara sahabat-sahabat yang lain!!!
Katakanlah kepada kita, demi Tuhan, silakan!, apakah dapat dirasakan dengan hati kita yang murni, bahwa hadits-hadits itu diucapkan oleh Rasulullah? Apakah demikian Islam, Rasul dan syariatnya?
Apakah Yang Maha Besar itu “cuma-cuma saja” memberi pahala seperti itu?
Related Post:
Category ›
Fakta
No comments:
Post a Comment